Senin, 21 November 2011

PENDIDIKAN MENURUT IMAM GOZALI

Tulisan ini merupakah hasil kliping dari artikel-artikel maupun buku yang membahas mengenai pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan. Penulis hanya melakukan elaborasi pendapat maupun pernyataan dari sumber pustaka dan berusaha meminimalisir pendapat pribadi penulis dalam tulisan hasil kliping ini.
Pendahuluan
Pendidikan akhlak sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Miskawaih (Nata, 2003), merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan yang bernilai baik dari seseorang. Dalam pendidikan akhlak ini, kriteria benar dan salah untuk menilai perbuatan yang muncul merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunah sebagai sumber tertinggi dalam ajaran Islam. Dengan demikian maka pendidikan akhlak dapat dikatakan sebagai pendidikan moral dalam diskursus pendidikan Islam. Telaah lebih dalam terhadap konsep akhlak yang telah dirumuskan oleh para tokoh pendidikan Islam masa lalu seperti Ibnu Miskawaih, al-Qabisi, Ibn Sina, al-Ghazali dan al-Zarnuji, menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku anak didik. Karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia. Namun demikian dalam implementasinya, pendidikan akhlak yang dimaksud memang masih tetap cenderung pada pengajaran benar dan salah seperti halnya pendidikan moral. Menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia dengan pendidikan akhlak sebagai trade mark di satu sisi, dan menjamurnya tingkat kenakalan perilaku amoral remaja di sisi lain menjadi bukti kuat bahwa pendidikan akhlak dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam sepertinya masih belum optimal.
Pandangan Al-Ghazali sebagai salah satu tokoh pendidikan Islam dianggap sangat menarik untuk diangkat karena dalam ruang-ruang kuliah studi Islam selama ini diajarkan bahwa al-Ghazali adalah biang keladi kemunduran umat Islam, seperti banyak terdapat pada sebagian referensi tentang al-Ghazali (Husaini, 2007). Boleh jadi pada sebagian pemikiran al-Ghazali terdapat kekeliruan, namun tidaklah adil jika hal itu kemudian menjadi dasar untuk menyudutkan al-Ghazali karena ia juga berandil dalam menginspirasi kemajuan umat Islam.
Pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan lebih cenderung pada pendidikan moral dengan pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada anak didik. Sebagaimana rumusannya tentang akhlak sebagai sifat yang mengakar dalam hati yang mendorong munculnya perbuatan tanpa pertimbangan dan pemikiran, sehingga sifat yang seperti itulah yang telah mewujud menjadi karakter seseorang. Konsep pendidikan ini erat sekali hubungannya dengan tujuan pendidikan untuk membentuk karakter positif dalam perilaku anak didik dimana karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia.
Riwayat Hidup Al-Ghazali
Al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H (1058 M) di desa Thus wilayah Khurasan yang sekarang termasuk wilayah Iran. Al-Ghazali memulai pendidikan dasarnya dengan belajar agama pada seorang ustadz setempat, Ahmad bin Muhammad Razkafi. Selanjutnya ia menjadi santri Abu Nashr al-Isma’il di Jurjan dan lalu belajar ilmu kalam, ilmu ushul, madzab figh, retorika, logika, tasawuf, dan filsafat pada al-Juwainy. Keunggulan ilmu al-Ghazali membuatnya menjadi sangat tersohor sehingga pada tahun 484 H (1091 M), ia diangkat menjadi ustadz (dosen) pada Universitas Nidhamiyah di Baghdad. Setahun setelah ia berusia 34 tahun, al-Ghazali diangkat menjadi pimpinan (rektor) pada universitas tersebut karena prestasinya yang begitu luar biasa. Selama menjadi rektor, al-Ghazali banyak menulis buku di bidang fiqh, ilmu kalam, dan buku-buku sanggahan terhadap aliran-aliran kebatinan, Ismailiyah, dan filsafat. Setelah 4 tahun menjadi rektor di universitas tersebut, ia mengalami krisis keraguan yang meliputi akidah dan semua jenis ma’rifat. Kemudian ia melanglang buana antara Syam, Baitul Maqdis, dan Hijaz selama kurang lebih 10 tahun dan menghabiskan waktunya untuk khalwat, ibadah, i’tikaf, dan menjalankan ibadah haji serta berziarah ke makam nabi-nabi. Setelah dibujuk untuk kembali mengajar di universitasnya, akhirnya al-Ghazali kembali menjadi dosen pada tahun 499 H (1106 M). Tetapi, tidak lama setelah itu, ia kembali ke tempat asalnya di desa Thus dan menghabiskan sisa umurnya untuk membaca al-Qur’an dan hadist serta mengajar. Di samping rumahnya, al-Ghazali mendirikan madrasah untuk para santri yang mengaji dan sebagai tempat berkhalwat bagi para sufi. Al-Ghazali menutup usianya pada tahun 505 H (1111 M) yaitu pada usia 55 tahun.
Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan
Dalam memahami pemikiran al-Ghazali, tentunya harus dilakukan banyak kajian terhadap literatur yang mengupas riwayat hidupnya maupun karya-karyanya yang sangat monumental dalam berbagai disiplin ilmu. Berkaitan dengan profesinya sebagai pemikir, al-Ghazali telah mengkaji secara mendalam dan kronologis minimal empat disiplin ilmu sehingga ia menjadi ahli ilmu kalam atau teolog, filosof, seorang sufi karena ilmu tasawufnya, dan juga seorang yang anti ilmu kebatinan.
Pandangan al-Ghazali yang sangat terkenal adalah pandangannya tentang hakekat manusia, yang berlandaskan pada esensi manusia yaitu jiwanya yang bersifat kekal dan tidak hancur. Ada empat istilah yang sangat populer dikemukakan oleh al-Ghazali dalam pembahasannya yang begitu mendalam tentang esensi manusia, yaitu tentang hati (qalb), ruh, jiwa (nafs), dan akal (aql).
Mengenai tujuan hidup manusia, al-Ghazali menyatakan bahwa:
Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak terorganisasikan selain dengan terorganisasinya dunia. Dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dunia adalah alat yang menyampaikan kepada Allah bagi orang yang mau memperbuatnya menjadi tempat tetap dan tanah air abadi.”
Dari pernyataannya dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki dua tujuan hidup. Yang pertama adalah sebagai wakil Allah di dunia untuk melaksanakan kehendakNya atau tujuan duniawi. Yang kedua adalah tujuan akhirat, yaitu mendapatkan kenikmatan surgawi yang berpuncak saat manusia dapat bertemu Penciptanya.
Dalam bidang pendidikan dan pengajaran, al-Ghazali banyak mencurahkan perhatiannya. Analisisnya terhadap esensi manusia mendasari pemikirannya pada kedua bidang ini. Menurut al-Ghazali, manusia dapat memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara sekian banyak makhluk di permukaan bumi dan langit karena ilmu dan amalnya. Sesuai dengan pandangan al-Ghazali terhadap manusia dan amaliahnya, yaitu bahwa yang amaliah itu tidak akan muncul dan kemunculannya hanya akan bermakna kecuali setelah ada pengetahuan. Sehingga wajar bila dalam karyanya yang sangat monumental, Ihya Ulumiddin, al-Ghazali mengupas ilmu pengetahuan secara panjang lebar dalam sebuah bab tersendiri, Kitabul Ilmi. Dalam pembahasannya tentang ilmu, al-Ghazali menggambarkannya dalam tatanan sosial masyarakat, dalam artian bahwa sebuah ilmu atau profesi tertentu diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diwajibkan dalam tatanan tersebut. Secara terperinci, ia menggunakan pendekatan epistemologi, ontologi, dan aksiologi.
Ditilik dari Ihya Ulumiddin bab pertama, al-Ghazali adalah penganut kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia islam maka hukumnya wajib. Tidak terkecuali siapapun. Ia juga termasuk penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih) dan pendidikan bisa mewarnainya dengan hal-hal yang benar.
Pengertian Pendidikan
Sekalipun Ihya Ulumiddin dianggap sebagai kitab intisari pemikiran al-Ghazali yang paling komplit, pengertian pendidikan masih belum dirumuskan secara jelas karena pembahasannya memang belum sampai pada tahap tersebut. Tetapi walaupun demikian, pengertian pendidikan menurut al-Ghazali dapat ditelusuri dari pernyataan-pernyataan yang diungkapkan melalui karyanya sebagaimana kutipan berikut:
Sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malaikat tinggi.”
Dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajaran dan bukan ilmu yang beku yang tidak berkembang.”
Pada kutipan pertama, kata ‘hasil’ menggambarkan proses, kata ‘mendekatkan diri kepada Allah’ menunjukkan tujuan, dan kata ‘ilmu’ menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan kedua dijelaskan perihal sarana penyampaian ilmu yaitu melalui pengajaran.
Mengenai keberlangsungan proses pendidikan, al-Ghazali menerangkan bahwa batas awal berlangsungnya pendidikan adalah sejak bersatunya sperma dan ovum sebagai awal kejadian manusia. Adapun mengenai batas akhir pendidikan adalah tidak ada karena selama hayatnya manusia dituntut untuk melibatkan diri dalam pendidikan sehingga menjadi insan kamil. Ditambahkan pula bahwa pendidikan dapat dipahami sebagai satu-satunya jalan untuk menyebarluaskan keutamaan, mengangkat harkat dan martabat manusia, dan menanamkan nilai kemanusiaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemakmuran dan kejayaan suatu bangsa sangat bergantung pada sejauhmana keberhasilan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Selain itu, pengajaran dan pendidikan harus dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan dengan perkembangan psikis dan fisik anak.
Dari berbagai hadist yang dikutip oleh al-Ghazali dalam bukunya dan juga beberapa pernyataannya tentang pendidikan dan pengajaran, dapat dirumuskan sebuah pengertian tentang pendidikan oleh al-Ghazali yaitu “proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna”.
Tujuan Pendidikan
Menurut al-Ghazali, pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sehingga tujuan pendidikan dirumuskan sebagai pendekatan diri kepada Allah, yaitu untuk membentuk manusia yang shalih, yang mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada Allah dan kewajiban-kewajibannya kepada manusia sebagai hambaNya.
Tujuan pendidikan jangka panjang yang dirumuskan sebagai pendekatan diri kepada Allah, dapat dicapai dengan melaksanakan ibadah wajib dan sunnah serta mengkaji ilmu-ilmu fardhu ‘ain seperti ilmu syariah. Sementara, orang-orang yang hanya menekuni ilmu fardhu kifayat sehingga memperoleh profesi-profesi tertentu dan akhirnya mampu melaksanakan tugas-tugas keduniaan dengan hasil yang optimal sekalipun, tetapi tidak disertai dengan hidayah al-din, maka orang tersebut tidak akan semakin dekat dengan Allah.
Tujuan pendidikan jangka pendek menurut al-Ghazali adalah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya dengan mengembangkan ilmu pengetahuan yang fardhu ‘ain dan fardhu kifayat. Masalah kemuliaan duniawi bukanlah tujuan dasar dari seseorang yang melibatkan diri dalam dunia pendidikan. Seorang penuntut ilmu seperti siswa, mahasiswa, guru, atau dosen, akan memperoleh derajat, pangkat, dan segala macam kemuliaan lain yang berupa pujian, kepopularitasan, dan sanjungan manakala ia benar-benar mempunyai motivasi hendak meningkatkan kualitas dirinya melalui ilmu pengetahuan untuk diamalkan. Sebab itulah, al-Ghazali menegaskan bahwa langkah awal seseorang dalam proses pembelajaran adalah untuk menyucikan jiwa dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela, dan motivasi pertama adalah untuk menghidupkan syariat dan misi Rasulullah.
Subyek Didik
Dalam pembahasan mengenai pendidikan, manusia yang bergantung disebut murid dan yang menjadi tempat bergantung disebut guru, sehingga keduanya disebut sebagai subyek didik. Al-Ghazali sangat mengagungkan posisi guru diatas segalanya sebagaimana ungkapannya bahwa hak guru atas muridnya lebih agung dibandingkan hak orang tua atas anaknya karena orang tua hanya penyebab keberadaan anaknya di alam fana dan guru lah penyebab hidupnya yang kekal. Ia juga menambahkan bahwa makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia, sedangkan yang paling mulia penampilannya ialah kalbunya, guru atau pengajar selalu menyempurnakan, mengagungkan, dan menyucikan kalbu itu serta menuntunnya untuk dekat kepada Allah.
Berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab guru profesional, al-Ghazali menyebutkan beberapa hal sebagai berikut:
(1) Guru adalah orang tua kedua bagi murid
(2) Guru adalah pewaris ilmu nabi
(3) Guru adalah penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid
(4) Guru adalah sentral figur bagi murid
(5) Guru adalah motivator bagi murid
(6) Guru adalah seseorang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid
(7) Guru sebagai teladan bagi murid
Selanjutnya, al-Ghazali menguraikan hal-hal yang harus dipenuhi murid dalam proses belajar mengajar sebagaimana berikut:
(1) Belajar merupakan proses jiwa
(2) Belajar menuntut konsentrasi
(3) Belajar harus didasari sikap tawadhuk
(4) Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya
(5) Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang dipelajari
(6) Belajar secara bertahap
(7) Belajar tujuannya adalah untuk berakhlakul karimah
Etika Belajar
Dalam hal etika belajar, al-Ghazali menjelaskan ada 10 hal yang harus dilakukan oleh seorang pelajar yaitu:
Pertama, membersihkan jiwa dari kejelekan akhlak, dan keburukan sifat karena ilmu itu adalah ibadahnya hati, shalat secara samar dan kedekatan batin dengan Allah.
Kedua, menyedikitkan hubungannya dengan sanak keluarga dari hal keduniawian dan menjauhi keluarga serta kampung halamannya. Hal ini menurut al-Ghazali agar seorang pelajar bisa konsentrasi dalam apa yang menjadi fokusnya.
Ketiga, tidak sombong terhadap ilmu dan pula menjauhi tindakan tidak terpuji terhadap guru. Bahkan menurut al-Ghazali seorang pelajar haruslah menyearhkan segala urusannya pada sang guru seperti layaknya seorang pasien yang menyerahkan segala urusannya pada dokter.
Keempat, menjaga diri dari mendengarkan perselisihan yang terjadi diantara manusia, karena hal itu dapat menyebabkan kebingungan, dan kebingungan pada tahap selanjutnya dapat menyebabkan pada kemalasan.
Kelima, tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga selesai dan mengetahui hakikatnya. Karena keberuntungan melakukan sesuatu itu adalah menyelami (tabahhur) dalam sesuatu yang dikerjakannya.
Keenam, janganlah mengkhususkan pada satu macam ilmu kecuali untuk tertib belajar.
Ketujuh, janga terburu-buru atau tergesa-gesa kecuali kita telah menguasai ilmu yang telah dipelajari sebelumnya. Karena sesungguhnya ilmu itu adalah sistematik, satu bagian saling terkait dengan bagian yang lainnya.
Kedelapan, harus mengetahui sebab-sebab lebih mulianya suatu disiplin ilmu dari pada yang lainnya. Seorang murid terlebih dahulu harus mengkomparasikan akan pilihan prioritas ilmu yang akan dipelajari.
Kesembilan, pelurusan tujuan pendidikan hanya karena Allah dan bukan karena harta dan lain sebagainya.
Kesepuluh,harus mengetahui mana dari suatu disiplin ilmu yang lebih penting (yu’atsar al-rafi’ al-qarib ‘ala al-ba’id)
Etika Mengajar
Dalam hal etika mengajar, al-Ghazali mengungkapkan bahwa ada 8 hal yang harus diperhatikan oleh seorang guru, sebagaimana berikut:
Pertama, memperlakukan para murid dengan kasih sayang seperti anaknya sendiri.
Kedua, mengikuti teladan Rasul, tidak mengharap upah, balasan ataupun ucapan terima kasih (ikhlas).
Ketiga, jangan lupa menasehati murid tentang hal-hal yang baik.
Keempat, jangan lupa menasehati murid dan mencegahnya dari akhlak tercela, tidak secara terang-terangan tapi hendaknya gunakan sindiran. Jangan lupa untuk mengerjakannya terlebih dahulu karena pendidikan dengan sikap dan perbuatan jauh lebih efektif daripada perkataan
Kelima, jangan menghina disiplin ilmu lain.
Keenam, terangkanlah dengan kadar kemampuan akal murid. (Hal inilah yang dibut dalam balaghah sebagai kefashihan).
Ketujuh, hendaknya seorang guru harus mengajar muridnya yang pemula dengan pelajaran yang simpel dan mudah dipahami, karena jika pelajarannya terlalu muluk-muluk maka hal tersebut akan membuat murid merasa minder dan tidak percaya diri.
Kedelapan, seorang guru harus menjadi orang yang mengamalkan ilmunya.
Kurikulum Pendidikan
Dalam menguraikan pengertian kurikulum menurut al-Ghazali, ada dua hal yang sangat menarik yaitu klasifikasinya terhadap ilmu pengetahuan dengan sangat terperinci sebagaimana skema yang telah digambarkan pada halaman sebelumnya, dan pemikirannya tentang manusia berikut segala potensi yang dimilikinya sejak ia dilahirkan. Ditambahkan olehnya bahwa kurikulum pendidikan harus disusun dan selanjutnya disampaikan kepada murid sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan psikisnya, sehingga pelajaran harus disampaikan secara bertahap dengan memperhatikan teori, hukum, dan periodisasi perkembangan anak. Pentahapan dalam kurikulum yang dilakukan olehnya, sangat sesuai dengan proses pendidikan anak yang diajarkan oleh nabi Muhammad seperti diriwayatkan melalui hadist. Jika dijabarkan, perkembangan usia anak berdasarkan didaktis menurut Rasulullah adalah:
(1) Usia 0-6 tahun
(2) Usia 6-9 tahun
(3) Usia 9-13 tahun
(4) Usia 13-16 tahun
(5) Usia 16 tahun dan seterusnya
Implikasi dari hadist tersebut, pertama yaitu bahwa usia 16 adalah batas minimal bagi orang tua untuk mendidik dan membimbing anaknya agar dapat mandiri; kedua, anak pada hakekatnya sudah dapat dilepas oleh orang tua sehingga tidak boleh lagi menggantungkan diri pada orang tua untuk menghidupi kehidupannya sendiri.
Metode Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Pentahapan dalam kurikulum pendidikan telah melahirkan pada penekanan metodik khusus pendidikan menurut al-Ghazali. Dan tampak sekali bahwa al-Ghazali juga melakukan penekanan pada pendidikan agama dan akhlak. Berikut ini adalah metodik khusus pendidikan menurut al-Ghazali:
(1) Metodik khusus pendidikan agama
(2) Metodik khusus pendidikan akhlak
Evaluasi Pendidikan
Dalam bahasa Arab, kata yang paling dekat dengan kata evaluasi adalah muhasabah, yang berarti menghitung atau memperkirakan. Al-Ghazali menggunakan kata tersebut dalam menjelaskan tentang evaluasi diri setelah melakukan aktivitas. Surat al-Hasyr ayat 18 dijadikan landasan berpijak oleh al-Ghazali dalam menguraikan tentang evaluasi diri, sebagaimana dikutip dalam karyanya. Sehingga dapat dirumuskan bahwa pengertian evaluasi adalah suatu usaha memikirkan, memperkirakan, membandingkan, menimbang, mengukur, dan menghitung aktivitas diri dan orang lain yang telah dikerjakan terkait dengan tujuan yang telah dicanangkan untuk meningkatkan usaha dan aktivitas menuju tujuan yang lebih baik di waktu mendatang. Subyek evaluasi yang terlibat dalam proses kependidikan tersebut dapat meliputi pimpinan lembaga, subyek didik, wali murid, dan tenaga administrasi.
Tujuan evaluasi secara umum, sebagaimana kutipan sabda Nabi yang dikutip oleh al-Ghazali, adalah sebagai berikut:
Jika kau telah merencanakan suatu pekerjaan atau suatu program kerja, maka pikirkanlah akibat atau hasil akhirnya. Jika kemungkinan benar (menguntungkan) maka teruskan, tapi jika kemungkinan sesat (merugikan) maka hentikan rencana itu.”
Sehingga tujuan dari evaluasi pendidikan dapat dirumuskan sebagai suatu upaya untuk mengontrol efektivitas dan efisiensi usaha dan sarana; mengetahui segi-segi yang mendukung dan menghambat jalannya proses kependidikan menuju tujuan. Segi-segi yang mendukung dikembangkan, dan segi-segi yang menghambat diperbaiki atau diganti dengan usaha atau sarana lain yang lebih menguntungkan.
Sebagaimana sabda Nabi yang dikutip oleh al-Ghazali berikut ini, bahwa aktivitas kependidikan dalam satuan waktu yang telah ditentukan secara periodik, seperempat dari satuan waktu tersebut digunakan untuk mengadakan evaluasi:
Seyogyanya bagi orang yang berakal mempunyai empat bagian waktu, dan satu bagian waktu darinya digunakan untuk mengevaluasi dirinya.”
Pendekatan Pendidikan Al-Ghazali
Al-Ghazali menjelaskan bagaimana seorang pelajar harus bersikap terhadap ilmu dan gurunya. Ia mengemukan metode belajar dan metode mengajar. Dan apa yang telah dikemukakan al-Ghazali tersebut adalah lebih moderat ketimbang apa yang kemudian diterjemahkan ulang dan banyak penambahan di sana sini oleh pengagumnya yang bernama al-Zarnuji yang lebih berorientasi pada etika murid pada dunia tasawuf dan tarekat.
Penjelasan al-Ghazali juga menyinggung metode pengajaran keteladanan dan kognitifistik. Selain itu ia juga memakai pendekatan behavioristik sebagai salah satu pendekatan dalam pendidikan yang dijalankan. Hal ini tampak dalam pandangannya yang menyatakan jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang guru mengapresiasi murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan. Tetapi bentuk pengapresiasian gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan reward and punishment-nya dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al-Ghazali menggunakan tsawab (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya.
Disamping pendekatan behavioristik diatas, al-Ghazali juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia secara holistik dan mengahrgai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh dengan kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri. Dengan ungkapan seperti ini tentu al-Ghazali menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru.
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidikan tidak semata-mata suatu proses yang dengannya guru menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa, yang setelah proses itu masing-masing guru dan murid berjalan di jalan mereka yang berlainan. Tetapi lebih dari itu, yaitu sebuah interaksi yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran yang relatif sama, yang pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan yang terakhir mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan.
Tetapi hal yang paling nampak dalam kacamata al-Ghazali tentang pendidikan adalah bagaimana ia membangun karakter pendidikan, ia sangat konsisten dalam masalah etika pendidikan. Pembahasan masalah ahklak atau etika tidak saja tampak dalam Ihya Ulmuddin tapi juga di Ayyuha al-Walad , Mizan al-Amal dan Bidayah al-hidayah. Dalam kitab yang terkhir ini persinggungan al-Ghazali dengan tasawuf sangat kental sekali. Yang menarik dalam semua kitab ini al-Ghazali menggunakan gaya narasi untuk mengungkapkan pemikirannya. Bahkan semenjak Tahafut al-Falasifah, ia tak segan menggunakan kata pengganti pertama berupa ‘aku’ atau ‘kita’. Malah dalam Ayyuha al-Walad, al-Ghazali menggunakan kata pengganti ‘engkau’ untuk menyapa pembacanya. Gaya penyusunan seperti ini kemudian banyak diadopsi oleh para pendidik sesudahnya termasuk oleh Umar Baradja dalam kitab Akhlaq lil Banin dan Ahklaq lil Banat. Mungkin inilah metode yang terbaik menurut al-Ghazali tentang proses belajar dan mengajar.
Penutup
Al-Ghazali yang berorientasi humanistik spiritual ini dapat dipandang sebagai tokoh pendidikan yang 6 abad lebih awal daripada Johan Benhard Basedow (tokoh philanthropinisme), John Locke dan Francis Bacon (tokoh empiris), Shcopenhauer (tokoh nativis), William dan Clora Stern (tokoh konvergensi), serta tokoh pendidikan dan psikolog dari Barat lainnya. Ia dianggap sebagai guru yang benar-benar berkepribadian guru; tokoh nativis yang tidak pesimis terhadap keberhasilan pendidikan, tokoh empiris yang tetap menaruh perhatian besar terhadap pembawaan. Walaupun demikian, konsep kepribadian ideal al-Ghazali lebih cenderung menghasilkan pendidikan yang beraliran konvergensi, meskipun ketiga aliran tersebut juga dapat terlihat dari pemikiran-pemikirannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar