Politik dan kiayai adalah bagian besar dari tema perdebatan yang tak kunjung
selesai, selalu hangat dan memanas dipermukaan, bagaikan orang yang
sangat haus ingin melepaskan kehausannya dengan meminum air asin dan air
hangat. Perdebatan tentang politik dan kiayai muncul dan tampak kepermukaan
setelah adanya fakta dan realita tentang gagalnya kiayai menduduki
singgasana politik. Padahal sebelum itu sah-sah saja, malahan mendapat
apresiasi yang sangat tinggi dari masyarakat. Semenjak itulah perdebatan
tentang politik dan kiyai mulai memanas dan semakin panas seiring
dengan bertambahnya fakta dan realita tentang carut marutnya politik
kiyai.
Dari situlah muncul opini, gagasan,
pemikiran, stigmen, streotip, kecaman dan bahkan ancaman tentang
politik. Mereka memandang dan mengecam, dunia politik adalah zona dan
distrik panas yang harus dijahui dan tidak boleh disentuh oleh kalangan
kiyai, ulama, pemuka agama dan organisasi sosial kemasyrakatan, seperti
Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan organisasi lainnya yang beroreintasi
sosial kemasyrakatan. Jika mereka berani menyentuh maka tunggulah
akibatnya, mereka akan hancur terbakar panasnya dunia politik.
Pandangan dan kecaman mereka itu menurut
hemat penulis adalah pandangan yang pincang dan cengeng. Bagaimana
tidak. Sedangkan mereka memandang dari sisi negatifnya saja tanpa harus
peduli pada sisi positifnya yang merupakan bagian penting dan tidak
boleh dilupakan dalam teori filsafat komparasi. Mereka cuman berdasarkan
fakta dan realita kecil saja tanpa harus menengok dan menkorek
nilai-nilai dan tujuan yang terkandung didalamnya. Sehingga ketika
mereka menyaksikan suguhan buram politik kiayai mereka menangis ,
menyesal dan berada dalam kepesimisan yang tingggi yang melahirkan
kesimpulan, tidaklah layak seorang kiyai berpolitik dan bahkan kadang
mereka menyatakan haram.
Padahal jikalau kita menengok dan mengkorek
kembali secara mendalam nilai-nilai dan tujuan politik secara umum, kita
akan menemukan sesuatu yang berbeda dan sangat bertolak belakang dengan
apa yang sudah mereka persepsikan dan kecamkan. Belum lagi, ketika kita
menengok bagaimana bapak politikus pertama kita yaitu Nabi besar
Muhammad S.A.W mendermakan dirinya untuk tampil dalam dunia politik sebagai
kepala negara. Beliau terjun kedunia politik tanpa ragu dan gundah
apalagi mengecam politik adalah daerah yang panas dan dapat membakar,
justru beliau memandang bahwa dunia politik adalah salah satu jembatan
yang paling ideal untuk mewujudkan misinya sebagai misionaris yang
mengemban amanah berat untuk menyebarkan agama islam dam melakukan
ekpansi negara islam. Begitupun penerus dan pengganti beliau, seperti
Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali dan kemudian dilanjutkan oleh penerus
mereka hingga sampai kepada pemerintahan abbaasiyah.
Fakta fenomenalnya sudah kita singkap yaitu:
semenjak beliau masuk kedunia politik ( baca: sebagai kepala negara )
agama islam semakin dikenal dan difahami oleh banyak kalangan kemudian
mereka berbondong-bondong datang kepada nabi muhammad untuk menyatakan
dirinya memeluk agama yang dibawanya. Berbeda ketika beliau masih berada
makkah , ketika beliau belum terjun ke dunia politik misi beliau sebagai sang revolusioner dan reformis dunia mandek dan berjalan ditempat.
Dari situlah penulis menarik kesimpulan bahwa
politik bukanlah zona terlarang untuk disentuh oleh kiyai, ulama,
pemuka agama dan organisasi kemasyarakatan lainnya seperti NU dan
Muhammadiiyah. Pasalnya, ketika kiyai dan ulama sudah menganggap politik
sebagai zona terlarang yang harus dijauhi apalagi diharamkan, maka
mereka dengan tidak disadari akan menjadikan negara yang sekuler,
memisahkan agama islam dengan negara. Padahal disamping itu mereka juga
tak ayal, senantiasa meggembar gemborkan diktum untuk menjauhi
skularisasi agama, dengan alasan bahwa agama tidak bisa lepas dari
negara begitupun sebaliknya, negara tidak bisa dilepaskan dari agama. Dan juga agama bagi mereka tak cuman menyentuh dan
melanglangnbuana dalam ranah personal saja tapi lebih dari itu. Agama
islam adalah agama yang universal,konferehensif dn komplit. Jadi
skularisasi agama menurut mereka adalah tindakan yang sangat naif dan
menyesatkan yang dapat membekukan agama islam.
Pun juga, ketika kiayai dan ulama dilarang
menjamah dunia politik maka sama saja mereka dengan orang-orang yang
menyandangkan kekuasaannya kepada orang-orang yang tak mempunyai basic
agama, tak memiliki mesin penyaring antara kebenaran dan kebatilan,
antara keadilan dan kedzoliman, antara keharmonisan dan kesengseraan dan
begitu juga seterusnya, mereka akan bertindak semena-mena, menjadikan
negara sebagai ladang subur yang didalamnya tumbuh-berkembang apa yang
dinamakan korupsi, konklusi dan nepotisme ( KKN ). Sementara para kiyai,
ulama, dan pemuka agama cuman menjadi penonton yang lemah, bagaikan
penonton sebuah felm, bersuara dan berteriak dengan kencangnya takkan
pernah didengar oleh aktornya. Mereka para ulama tak dapat
dan tak bisa menyetir mereka para pemimpin yang dzalim dan tak bisa
mengobah kondisi dan situasi masyrakat. Karena mereka para ulama tak
punya domain dan legitimasi untuk mereformasi dan merubah. Alhasil,
mereka cuman berteriak dan berkoar-koar untuk menyampaikan aspirasainya
tapi tak pernah didengar. Seakan-akan mereka para pemimpin yang dzalim
itu, tuli tak dapat mendengar. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar