Selasa, 13 Desember 2011

KIAYI DAN POLITIK

Politik dan kiayai adalah bagian besar dari tema perdebatan yang tak kunjung selesai, selalu hangat dan memanas dipermukaan, bagaikan orang yang sangat haus ingin melepaskan kehausannya dengan meminum air asin dan air hangat. Perdebatan tentang politik dan kiayai muncul dan tampak kepermukaan setelah adanya fakta dan realita tentang gagalnya kiayai menduduki singgasana politik. Padahal sebelum itu sah-sah saja, malahan mendapat apresiasi yang sangat tinggi dari masyarakat. Semenjak itulah perdebatan tentang politik dan kiyai mulai memanas dan semakin panas seiring dengan bertambahnya fakta dan realita tentang carut marutnya politik kiyai.
Dari situlah muncul opini, gagasan, pemikiran, stigmen, streotip, kecaman dan bahkan ancaman tentang politik. Mereka memandang dan mengecam, dunia politik adalah zona dan distrik panas yang harus dijahui dan tidak boleh disentuh oleh kalangan kiyai, ulama, pemuka agama dan organisasi sosial kemasyrakatan, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan organisasi lainnya yang beroreintasi sosial kemasyrakatan. Jika mereka berani menyentuh maka tunggulah akibatnya, mereka akan hancur terbakar panasnya dunia politik.
Pandangan dan kecaman mereka itu menurut hemat penulis adalah pandangan yang pincang dan cengeng. Bagaimana tidak. Sedangkan mereka memandang dari sisi negatifnya saja tanpa harus peduli pada sisi positifnya yang merupakan bagian penting dan tidak boleh dilupakan dalam teori filsafat komparasi. Mereka cuman berdasarkan fakta dan realita kecil saja tanpa harus menengok dan menkorek nilai-nilai dan tujuan yang terkandung didalamnya. Sehingga ketika mereka menyaksikan suguhan buram politik kiayai mereka menangis , menyesal dan berada dalam kepesimisan yang tingggi yang melahirkan kesimpulan, tidaklah layak seorang kiyai berpolitik dan bahkan kadang mereka menyatakan haram.
Padahal jikalau kita menengok dan mengkorek kembali secara mendalam nilai-nilai dan tujuan politik secara umum, kita akan menemukan sesuatu yang berbeda dan sangat bertolak belakang dengan apa yang sudah mereka persepsikan dan kecamkan. Belum lagi, ketika kita menengok bagaimana bapak politikus pertama kita yaitu Nabi besar Muhammad S.A.W mendermakan dirinya untuk tampil dalam dunia politik sebagai kepala negara. Beliau terjun kedunia politik tanpa ragu dan gundah apalagi mengecam politik adalah daerah yang panas dan dapat membakar, justru beliau memandang bahwa dunia politik adalah salah satu jembatan yang paling ideal untuk mewujudkan misinya sebagai misionaris yang mengemban amanah berat untuk menyebarkan agama islam dam melakukan ekpansi negara islam. Begitupun penerus dan pengganti beliau, seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali dan kemudian dilanjutkan oleh penerus mereka hingga sampai kepada pemerintahan abbaasiyah.
Fakta fenomenalnya sudah kita singkap yaitu: semenjak beliau masuk kedunia politik ( baca: sebagai kepala negara ) agama islam semakin dikenal dan difahami oleh banyak kalangan kemudian mereka berbondong-bondong datang kepada nabi muhammad untuk menyatakan dirinya memeluk agama yang dibawanya. Berbeda ketika beliau masih berada makkah , ketika beliau belum terjun ke dunia politik misi beliau sebagai sang revolusioner dan reformis dunia mandek dan berjalan ditempat.
Dari situlah penulis menarik kesimpulan bahwa politik bukanlah zona terlarang untuk disentuh oleh kiyai, ulama, pemuka agama dan organisasi kemasyarakatan lainnya seperti NU dan Muhammadiiyah. Pasalnya, ketika kiyai dan ulama sudah menganggap politik sebagai zona terlarang yang harus dijauhi apalagi diharamkan, maka mereka dengan tidak disadari akan menjadikan negara yang sekuler, memisahkan agama islam dengan negara. Padahal disamping itu mereka juga tak ayal, senantiasa meggembar gemborkan diktum untuk menjauhi skularisasi agama, dengan alasan bahwa agama tidak bisa lepas dari negara begitupun sebaliknya, negara tidak bisa dilepaskan dari agama. Dan juga agama bagi mereka tak cuman menyentuh dan melanglangnbuana dalam ranah personal saja tapi lebih dari itu. Agama islam adalah agama yang universal,konferehensif dn komplit. Jadi skularisasi agama menurut mereka adalah tindakan yang sangat naif dan menyesatkan yang dapat membekukan agama islam.
Pun juga, ketika kiayai dan ulama dilarang menjamah dunia politik maka sama saja mereka dengan orang-orang yang menyandangkan kekuasaannya kepada orang-orang yang tak mempunyai basic agama, tak memiliki mesin penyaring antara kebenaran dan kebatilan, antara keadilan dan kedzoliman, antara keharmonisan dan kesengseraan dan begitu juga seterusnya, mereka akan bertindak semena-mena, menjadikan negara sebagai ladang subur yang didalamnya tumbuh-berkembang apa yang dinamakan korupsi, konklusi dan nepotisme ( KKN ). Sementara para kiyai, ulama, dan pemuka agama cuman menjadi penonton yang lemah, bagaikan penonton sebuah felm, bersuara dan berteriak dengan kencangnya takkan pernah didengar oleh aktornya. Mereka para ulama tak dapat dan tak bisa menyetir mereka para pemimpin yang dzalim dan tak bisa mengobah kondisi dan situasi masyrakat. Karena mereka para ulama tak punya domain dan legitimasi untuk mereformasi dan merubah. Alhasil, mereka cuman berteriak dan berkoar-koar untuk menyampaikan aspirasainya tapi tak pernah didengar. Seakan-akan mereka para pemimpin yang dzalim itu, tuli tak dapat mendengar. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar