Makna Tauhid
Tauhid merupakan bentuk masdhar (gerund) dari �Wahhada Yuwahhidu Tauhiidan� yang artinya �mengesakan� atau �menunggalkan�,
dan secara lengkap bermakna mengesakan Allah dalam segala
perbuatan-Nya, dan meyakini bahwa Dia sendiri lah yang menciptakan,
mengatur serta menguasai alam semesta dan seisinya (Rubbubiyah-Nya),
Ikhlas beribadah kepada-Nya (Uluhiyah-Nya) serta menetapkan baginya
nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, tauhid ada tiga macam
pembagiannya; tauhid rubbubiyah, tauhid
uluhiyah dan tauhid asma� wa sifat. Dan seperti yang sudah masyur
diketahui bahwa pembagian ini sudah disepakati oleh jumhur ulama dengan
dalil-dalil yang shahih dan qoth�i. Kewajiban kita adalah meyakini dan mengimaninya.
Tauhid Uluhiyah
Dari
ketiga macam tauhid diatas, tauhid uluhiyah merupakan inti dakwah para
rasul. Tauhid ini lah yang merupakan agama para rasul yang karenanya
mereka diutus kepada segenap hamba-Nya untuk menegakkan kalimat �Laa Ilaaha Illallaah� di muka bumi ini.
�Laa Ilaaha Illallaah� yang artinya �Laa ma�buda bi haqqi ilaallah�, (tiada Tuhan/sesembahan yang haq untuk disembah kecuali Allah), dengan penekanan pada lafadz �bihaqqi�
yang bermaksud menafi�kan sesembahan-sesembahan lain dalam ajaran
monoloyalitas ini. Karena seperti kita ketahui Al-Qor�an juga mengakui
adanya banyak Tuhan yang disembah di dunia ini. Tapi hanya satu yang haq
untuk disembah, yaitu Allah Subhanallahu wa ta�alaa, Hal ini bisa diruju� kembali dalam firman Allah Subhanallahu wa ta�alaa, yang artinya:
�Dan sesunggguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu�. (An-Nahl:36)
Dan juga dalam firman-Nya, yang artinya:
�Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya, Bahwasannya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.� (Al-Anbiya�:25).
Kaidah bahasa dan ayat-ayat diatas juga menepis pemahaman batil yang menyatakan bahwa makna kalimat tauhid �Laa Ilaaha Illallaah� adalah �Tiada tuhan selain Allah�
seperti yang tersebar di masyarakat muslim selama ini. Karena dalam
kalimat ini tidak ada unsur pemisah antara sesembahan yang haq dan
sesembahan yang batil. Sementara kita ketahui bahwasannya kaum majusi
menyembah �Tuhan apinya�, kaum nasrani menyembah nabi yang diklaim anak
Tuhannya, kaum Nuh menyembah patung Wadd, Suwa�, Ya�uq, Yaghuts dan
Nasr, serta adanya ajaran animisme dinamisme yang bersumber pada ajaran
ardhi yang banyak dianut di beberapa kelompok masyarakat di dunia ini.
Dan Alloh dalam firman-firman-Nya menekankan sesembahan selain ditujukan
kepada-Nya adalah sesembahan bathil.
Tauhid uluhiyah disebut juga tauhid ibadah, yaitu �Ifrodzulillahi ta�alaa fil �ibadah, mengesakan Allah
dalam segala bentuk ibadah, itulah inti ajaran islam yang dibawa oleh
semua rasul-rasul Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu �alaihi wa sallam:
�Saya
diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa
tiada Illah (sesembahan) yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad
adalah Rasulullah.� (HR. Bukhari wa Muslim)
Penyimpangan-Penyimpangan Tauhid dan Bantahan Terhadapnya
Penyimpangan
dari ajaran tauhid yang benar adalah kehancuran dan kesesatan. Karena
dengan memahami kebenaran tauhid merupakan motivator bagi amal yang
bermanfaat. Amal yang dengannya kita memohon ampunan serta kemurahan
Allah atas surga dan kenikmatan di akherat yang merupakan muara akhir
kehidupan manusia. Sebagaiman firman Allah dalam Qur�an surat Az-Zumar, ayat 65, yang artinya:
�Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.�
Adapun
sebab-sebab penyimpangan dari ajaran tauhid yang benar, dan sering
terjadi di masyarakat jahiliyah bahkan berulang sampai zaman sekarang,
adalah sbb:
a. Kebodohan terhadap aqidah shahihah,
karena tidak mau atau enggan mempelajarinya. Dan hal ini sangat rawan
pada era globalisasi ini, dimana sistem pendidikan sekuler yang mulai
merambah negeri-negeri muslim di dunia. Akibatnya banyak generasi
penerus islam yang semau gue atau berislam karena faktor �keturunan�.
Yang haq pun bisa terlihat bathil dan yang bathil pun bisa menjadi haq,
karena keminiman ilmu sehingga rapuh pada serangan subhat-subhat pemikiran yang menyerang kemurnian aqidah. Padahal para ulama pun meyakini bahwa penyakit �subhat� ini jauh lebih susah diidentifikasikan daripada penyakit �maksiyat�
(Cit. Tazkiyatun Nufus). Islam pun semakin kelihatan abu-abu daripada
ketegasan manhaj putih atau hitam sekaliyan. Sebagaimana Umar
Radhiyallahu Anhu berkata:
�Sesungguhnya
ikatan simpul islam akan pudar satu demi satu, manakala di dalam islam
terdapat orang yang tumbuh tanpa mengenal kejahiliyahan.�
b. Ta�ashub (fanatik) kepada sesuatu yang diwariskan oleh nenek moyang tanpa dilandasi ilmu yang shahih. Serta mencampakkan apa yang menyalahinya sekalipun telah ditegakkan hujjah atasnya. Sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa ta�alaa, yang artinya:
�Dan
apabila dikatakan kepada mereka, �Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah, mereka menjawab,� (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang
telah kami dapati dari (perbuatan) nenek
moyang kami.�(Apakah mereka akan mengikuti juga), walau pun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat
petunjuk.�(Al-Baqarah:170)
Fenomena seperti ini tidak hanya kita temui di kalangan kaum jahiliyah saja, tapi juga sering kita temui di kalangan muslim �keturunan�, dimana ketika mereka ternyata telah melakukan suatu amalan yang sesungguhnya itu dikategorikan bid�ah (sesuatu yang diada-adakan/baru dalam ajaran agama), dan telah ditegakkan hujjah
atasnya oleh orang-orang yang berilmu, maka mereka menolaknya dengan
alasan nenek moyangnya atau gurunya telah mengajari seperti itu dan
mereka juga berilmu (dalam pandangan mereka).
c. Taqlid
buta, dengan mengambil pendapat manusia dalam hal tauhid (aqidah) tanpa
mengetahui dalilnya dan tanpa menyelidiki sampai seberapa jauh
kebenarannya. Padahal Allah memberi akal pada manusia untuk berpikir
skeptis dan kristis. Adapun kaidah ulama yang membolehkan taqlidnya
orang awam kepada ulama yang diyakini kebenaran ilmunya, itu hanya
terbatas pada hal-hal yang bersifat khilafiyah (ada perbedaan pendapat dalam penetapan hukumnya), hal ini pun karena keterbatasan ilmunya dalam memahami khilafiyah tersebut dalam rangka mencari penyelamatan diri (cit. Talbish Iblis, Ibnul Jauzy). Sedangkan tauhid (aqidah) adalah bersifat tauqifiyah
(sudah ditetapkan oleh Allah tentangnya tanpa memberi ruang perdebatan
didalamnya). Sehingga kita diwajibkan mempelajarinya dan berilmu atasnya
adalah wajib.
d. Ghuluw
(berlebihan), dalam mencintai para wali dan orang shalih, sehingga
mengangkat mereka pada derajat diatas semestinya, meyakini bahwa mereka
mampu mendatangkan kemanfaatan maupun kemudharatan, yang sesungguhnya
itu semua adalah haq Allah semata.
Juga
menjadikan para wali tersebut sebagai perantara dalam beribadah kepada
Allah, bahkan sampai pada tingkat penyembahan pada para wali tersebut
dan bukan pada Allah Subhanallahu wa ta�alaa.
Hal ini dapat kita lihat pada contoh masyarakat jahiliyah yang meyembah
patung orang-orang shalih dikalangan mereka atau nenek moyangnya. Dan
ketika ditegakkan hujjah atas mereka, mereka pun menjawab:
�Mengapa ia menjadikan Tuhan-Tuhan itu Tuhan yang satu saja� sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang mengherankan.� (Shad: 5).
Mereka pun berdalih dengan perkataan:
��..Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.� (Az-Zumar:3)
Dalam
masyarakat sekarang dapat kita lihat juga, bagaimana sebagian kaum
muslim di dunia ini masih rajin mendatangi kuburan-kuburan para wali
(atau orang yang dianggap wali oleh mereka) untuk berdoa, ber-istighatsah, ber-taqarrub
padanya. Dan anehnya, ketika didatangkan kepada mereka orang yang
menyeru kepada mereka bahwa perbuatan itu salah, maka akan berulang
kejadian zaman jahiliyah diatas, alasan-alasan yang serupa pun keluar
dari mulut mereka. Naudzubillahi mindzaliik tsumma naudzu billah. Kita
berlindung dari subhat-subhat yang dilancarkan oleh syaithan dari
golongan jin, manusia atau pun yang berasal dari keburukan kita pribadi.
e. Ghaflah (lalai) terhadap perenungan ajaran-ajaran Allah yang bersifat kauniyah maupun qauliyah
(Al-Qor�an), sehingga bisa menjerumuskan kaum muslimin pada pendewaan
akal dan materi. Sebagai contoh begitu terbuai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga menafi�kan peran Allah didalamnya dan
memuja akal serta usaha manusia atas keberhasilan-keberhasilan
tersebut. Kelalaian akan menipis sedikit demi sedikit iman di dada
orang-orang mukmin, dan menghapus sama sekali iman di dada orang-orang
yang cenderung pada subhat dan kemaksiyatan. Sebagaimana perkataan
ulama, bahwa iman itu ibarat sebuah pakaian, bisa dilepas dan bisa
dipasang, maka kalau tidak dipelihara secara rutin bisa terlepas sama
sekali dari badan dan jiwa kita (Cit. Talbish Iblish, Ibnul Jauzy).
Adapun cara menaggulangi penyimpangan-penyimpangan diatas, adalah:
a. Kembali kepada kitabullah dan sunnah Rasulullah Shalallahu �alaihi wa sallam dalam pengambilan aqidah shahihah, inti ajaran tauhid yang lurus dan bersih dari noda-noda kesyirikan serta subhat. Sebagaimana para salafush shalih
mengambil aqidah mereka dari keduanya, karena Rasulullah pun bersabda
bahwa tidak akan baik umat ini (islam) kecuali kembali kepada umat
pendahulunya (kaum salaf). Dan harus ada porsi yang seimbang antara
kitabullah dan sunnah. Hal ini sangat ditekankan, karena mengingat
banyaknya penyimpangan aqidah akhir-akhir ini yang disebabkan muslim
yang hanya mempelajari alqor�an tanpa mengambil penjelasannya dalam
sunnah. Padahal kebutuhan Al-qor�an terhadap sunnah itu lebih besar
daripada sunnah terhadap Al-Qor�an dalam penjelasan syariat (Cit.
Syarhus-sunnah, Imam Barbahari). Juga dengan mengkaji aqidah golongan
sesat dan mengenal subhat-subhat
mereka untuk kita bantah dan kita waspadai, sebagaimana kisah shahabat
Hudzaifah bin Yaman, dimana ketika para shahabat lain sibuk menanyakan
kepada Rasul tentang kebaikan, beliau justru menanyakan masalah
kejahatan/keburukan.
b. Memberi pengajaran pada aqidah yang shahih
pada seluruh jenjang pendidikan, khususnya pendidikan informal
(keluarga). Sebagaiman Rasulullah telah memulai dakwahnya dengan dakwah
penegakan tauhid sebelum dahwah-dakwah yang lain (Cit. Kitabut-Tauhid,
Syaikh Tamimi).
c. Menetapkan
kitab-kitab salaf yang bersih sebagai bahan menuntut ilmu, karena
sesungguhnya kepada sebagian mereka lah Alqor�an itu hadir, kepada
mereka lah Rasulullah memperdengarkan sabda-sabdanya, dan mereka lah
yang diklaim generasi terbaik oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam.
d. Menyebarkan para ahlul ilmi yang bisa menyampaikan aqidah yang shahih, serta memberantas segala bentuk kemusryikan dan subhat
yang mengkeruhkan kemurnian tauhid. Disamping itu, sudah menjadi beban
bagi setiap muslim untuk mendakwahkan ilmu-ilmu dien yang sudah
diketahuinya dengan hujjah dan niat yang ikhlas. Wallahu ta�alaa a�lam bi shawwab.
Semoga
kita digolongkan pada umat yang lurus, sejalan dengan jalan Rasulullah
dan para shahabatnya yang mulia, serta orang-orang shalih sampai akhir zaman. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar