Senin, 21 November 2011

Pemikiran Ibnu Maskawih dan Ibnu Thufail

RANAH filsafat Islam banyak diwarnai oleh karya-karya beberapa filosof yang mempunyai pandangan yang cemerlang. Sebut saja tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat,logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah al-Syifa’. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.


Selain tokoh-tokoh tersebut, masih ada banyak nama-nama besar dalam khazanah filsafat Islam. Dua nama diantaranya adalah Ibnu Maskawaih dan Ibnu Thufail. Ibnu Maskawaih terkenal dengan pemikiran tentang al nafs dan al akhlaq, sedangkan Ibnu Thufail terkenal dengan pemikirannya yang salah satunya tertuang dalam roman filsafatnya yang terkenal Hayy bin Yaqdhan.


Membahas pemikiran seorang tokoh seperti Ibnu Maskawaih dan ibnu Thufail akan menjadi menarik dan terus menarik sepanjang perkembangan khazanah intelektual muslim. Bukan saja karena corak pemikiran kefilsafatannya, namun juga karena salah satunya (seperti Ibnu Thufail) gemamenuangkan idenya melalui kisah-kisah ajaib yang penuh kebenaran sehingga semakin megukirkan nama besarnya.


Makalah ini merupakan hasil kajian penulis melalui beberapa literatur tentang pemikiran Ibnu Maskawaih dan Ibnu Thufail. Tentang Ibnu Maskawaih, penulis membatasi diri seputar filsafat al nafs dan akhlaq, sedangkan mengenai Ibnu Thufail penulis berupaya menganalisis hasil karya yang berjudul hayy bin yaqdhan yang penuh lambang diantaaranya pengetahuan tentang Tuhan serta kewajiban berbuat baik dan buruk.


Ibnu Maskawih


1. Riwayat Hidup Maskawaih


Maskawaih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memuaskan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, disamping filsafat Yunani, sangat luas.


Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar ini juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan Adhud al Daulah dari Bani Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya[1].


Maskawaih dilahirkan di Ray (Teheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkan berbeda-beda, MM Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth menyebutkan tahun 330 H. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedangkan wafatnya, para tokoh sepakat pada 9 shafar 421 H/16 Februari 1030 M[2].


Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar Mu’izz al Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad di saat bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas[3].


Puncak prestasi bani Buwaih adalah pada masa ‘Adhud al Daulah (tahun 367 H – 372 H). Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan pada masa inilah Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud al Daulah. Juga pada masa ini Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.


2. Pemikiran Filsafat Ibnu Maskawaih


a. Filsafat Jiwa (al nafs)


Menurut Ibnu Maskawaih, Jiwa berasal dari limpahan akal aktif (‘aqlfa’al). jiwa bersifat rohani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca indera.


Jiwa tidak bersifat material, ini dibuktikan Ibnu Maskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu dengan yang lain. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu putih atau hitam saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang indrawi maupun yang spiritual. Daya pengenalan dan kemampuan jiwa lebih jauh jangkauannya dibanding daya pengenalan dan kemampuan materi. Bahkan dunia materi semuanya tidak akan sanggup memberi kepuasan kepada jiwa.


Lebih dari itu, di dalam jiwa terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang benar dan yang tidak benar berkaitan dengan hal-hal yang diperoleh panca indera. Perbedaan itu dilakukan dengan jalan membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain dan membeda-bedakannya.


Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing panca indera dan membetulkan kekeliruan yang dialami panca indera. Kesatuan aqliyah jiwa tercermin secara amat jelas, yaitu bahwa jiwa itu mengetahui dirinya sendiri, dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya, dengan demikian jiwa merupakan kesatuan yang di dalamnya terkumpul unsur-unsur akal, subyek yang berpikir dan obyek-obyek yang dipikirkan, dan ketiga-tiganya merupakan sesuatu yang satu.


Ibnu Maskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Lebih jauh menurutnya, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat. Dari tingkat yang paling rendah disebutkan urutannya sebagai berikut:


1) Al nafs al bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.


2) Al nafs al sabu’iah (nafsu binatang buas) yang sedang


3) Al nafs al nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik[4].


Manusia dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya jika ia memiliki jiwa yan cerdas. Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat, dan dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam hidupnya selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia yang dikuasai hidupnya oleh dua jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas), maka turunlah derajatnya dari derajat kemanusiaan.


Berkenaan dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Maskawaih mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk mempunyai sifat ‘ujub, sombong, pengolok-olok, penipu dan hina dina. Sedangkan jiwa yang cerdas mempunyai sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar, dan cinta[5].


b. Filsafat Akhlaq


Sebagai “Bapak Etika Islam”, Ibnu Maskawaih dikenal juga sebagai Guru Ketiga (al Mu’allim al tsalits), setelah al Farabi yang digelari Guru Kedua (al Mu’allim al tsani). Sedangkan yang dipandang sebagai Guru Pertama (al Mu’allim al awwal) adalah Aristoteles. Teori Maskawaih tentang etika dituangkan dalam kitabnya yang berjudul Tahzib al Akhlaq wa That-hir al ‘Araq (Pendidikan budi pekerti dan pembersihan watak).


Kata akhlaq adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Ibnu Maskawaih memberikan pengertian khuluq sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya[6].


Dengan kata lain, khuluq merupakan keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan secara spontan. Keadaan jiwa tersebut bisa merupakan fitrah sejak kecil, dan dapat pula berupa hasil latihan membiasakan diri, hingga menjadi sifat kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan baik.


Dari pengertian itu dapat dimengerti bahwa manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawa fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Manusia dapat mempunyai khuluq yang bermacam-macam baik secara cepat maupun lambat. Hal ini dapat dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari satu keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya.


Ibnu Maskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami perubahan-perubahan khuluq, dan dari segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan syari’at, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu semua memungkinkan manusia dengan akalnya untuk memilih dan membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dari sini pula Ibnu Maskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq[7].


IBNU THUFAIL


1. Riwayat Hidup Ibnu Thufail


Nama lengkap Ibnu Thufail adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu ‘Abd al Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thufail. Ia merupakan pemuka pertama dalam pemikiran filosofis Muwahhid yang berasal dari Spanyol. Ibnu Thufail lahir pada abad VI H di kota Guadix, propinsi Granada. Keturunannya merupakan keluarga suku Arab yang terkemuka, yaitu suku Qais.


Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Karena ketenaran atas jabatan tersebut, ia diangkat sebagai sekretaris Gubernur di propinsi itu. Pada tahun 1154 M (549 H) ia menjadi sekretaris pribadi Gubernur Ceuta dan Tangier, penguasa Spanyol pertama yang merebut Maroko. Dan dia menjabat dokter tinggi serta menjadi qadhi di pengadilan pada masa Khalifah Muwahhid Abu Ya’qub Yusuf (558 H – 580 H)[8].


2. Falsafah Hayy bin Yaqdhan


Sebagaimana umumnya para filosuf yang tenggelam dalam kerja kontemplatif Ibnu Thufail juga berfikir tentang alam dan bagaimana proses-prosesnya serta agama dan bagaimana kemunculannya. Kemudian beliau merangkum hasil-hasil pencerahannya dalam karyanya yang terkenal yang diberi nama hayy bin yaqdhan (hidup anak kesadaran, yang bermaksud bahwa intelek manusia berasal dari intelek Tuhan ) atau di kenal juga sebagai asraar al falsafah al isyraqiyah (rahasia-rahasia filsafat eluminasi).


Hasil karya Ibnu Thufail ini telah di terjemahkan ke dalam bahasa latin pada masa di mana bahasa tersebut hanya di gunakan sebagai penterjemah karya-karya besar ilmiah (magnum opus) yang menjadi referensi utama, termasuk yang telah menterjemahkannya ke dalam bahasa latin adalah Giovanni vico dolla Mirandolla (Abad 15) kemudian yang paling terkenal adalah Edward Pockoke yang memberi tajuk pada karya tersebut Philosophus Autodidaktus (al filosuf al mu’allim nafsaha/Sang filosuf Autodidak) di mana nama tersebut di tujukan sebagai apresiasinya terhadap Ibnu Thufail. Pada masa selanjutnya, karya ini juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia.


Secara ringkas karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu di sebuah pulau tak berpenghuni, anak tersebut di sebut oleh Ibnu Thufail sebagai hay bin yaqdhan (hidup anak kesadaran) yang kemudian hari diambil anak oleh seekor kijang dan dibesarkan dengan air susunya hingga akhirnya menjadi dewasa dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri. Ketika umurnya telah mencapai usia tujuh tahun hay bin yaqdhan menemukan bahwa dirinya ternyata berbeda dengan hewan-hewan lain yang berada di pulau tersebut. Ia melihat bahwa hewan-hewan tersebut ternyata memiliki ekor, pantat dan bulu-bulu di bagian-bagian tubuhnya. Hal tersebut membuat hay bin yaqdhan mulai berfikir dan menggunakan potensi akalnya yang kemudian ia menjadikan daun-daunan untuk menutupi badannya untuk beberapa saat sampai akhirnya menggantinya dengan kulit binatang yang telah mati.


Sampai pada suatu saat, matilah kijang yang mengasuhnya. Hal tersebut mendorongnya untuk memeriksa tubuh dari kijang tersebut. Tetapi secara kasat mata dia tak menemukan sesuatu yang berbeda dari ketika kijang itu masih hidup. Kemudian ia mulai membedahnya hingga menemukan pada rongga tubuh kijang tersebut gumpalan yang diseliputi oleh perkakas tubuh yang mana darah di dalamnya menjadi beku. Maka hayy bin yaqdhan mulai tahu bahwa jantung jika berhenti maka bersamaan itu pula kehidupan suatu makhluk hidup akan berakhir.


Selain dari pada itu, pada suatu hari hayy bin yaqdhan menyalakan api di pulau tersebut, maka ia mulai merasakan bahwa api ternyata dapat memberikan penerangan dan membangkitkan panas. Tidak cukup dengan itu, ia juga menemukan bahwa daging burung dan ikan yang di bakar api terasa lebih enak dan sedap. Maka mulailah ia selalu menggunakan api untuk memasak makanan dan seterusnya mulailah ia memperkuat penggunaan indranya dan menggunakan apa yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.


Hayy bin yaqdhan juga menyaksikan bahwa alam ini tunduk dalam suatu aturan kosmos dan akan berakhir pada titik ketiadaan, dan yang di maksud dengan alam adalah segala eksistensi yang immanent dan bisa kita rasakan dan semuanya itu mempunyai karakter “Baru” ( haadist) yang berarti didahului oleh ketiadaan (yang dalam teori penciptaan di sebut sebagai creatio ex nihilo). Karena setiap peristiwa baru mengharuskan adanya yang mengadakan dan hipotesa ini akhirnya membawa hayy bin yaqdhan pada suatu kesimpulan tentang “Sang Pencipta (The creator) dan ia juga menyaksikan bahwa segala eksistensi di alam ini bagaimanapun berbedanya ternyata mempunyai titik-titik kesamaan baik dari segi asal maupun pembentukan maka ini mengarahkannya pada pemikiran bahwa segala yang ada ini bersumber dari subyek yang satu (causa prima) maka iapun mengimani Tuhan yang satu.


Kemudian hayy bin yaqdhan mulai mengarahkan pandangannya ke langit dan melihat matahari yang terbit dan terbenam setiap harinya secara berulang-ulang maka seperti itulah dalam pandangannya aturan kosmos yang berkesinambungan sebagaimana yang terdapat pada planet dan bintang-bintang. Tidak cukup dengan itu, hayy bin yaqdhan berkesimpulan bahwa termasuk sifat tuhan adalah apa-apa yang bisa kita lihat melalui jejak-jejak ciptaan-Nya, maka tampaklah karakter Tuhan sebagai Eksistensi yang Maha sempurna ( The perfect one ) lagi kekal dan yang selainnya akan rusak dan berakhir pada ketiadaan.


Seiring dengan berjalannya waktu sampailah Hayy bin yaqdhan pada umurnya yang ke-35, dan mulailah ia mencari indra apa dalam dirinya yang membawanya pada hipotesa-hipotesa dan menunjukinya pada kesimpulan-kesimpulannya yang telah lampau. Maka ia menemukan apa itu akal (reason), ruh (spirit) dan jiwa (nafs/soul). Dan ia tetap hidup di pulaunya sampai beberapa saat dengan kecondongan rohani dan kesenangan melakukan ekstasi (semedi) sambil berkontemplasi tentang segala ciptaan sebagai teofani (tajalliyaat ) sang wajibul wujud (The necessary being).


Sampai pada suatu saat singgahlah di pulau tersebut untuk pertama kalinya seorang manusia bernama Absal, seorang ahli ibadah yang hidup secara asketis (zuhd) yang datang dari negeri yang jauh untuk beribadah, bertapa dan berkontemplasi, maka bertemulah Absal dengan Hayy bin yaqdhan. Dan Hayy bin yaqdhan pun mengambil pelajaran darinya tentang segala nama-nama (Al asmaa’ kulluhaa) dan kebenaran-kebenaran wahyu ( syariat). Dan setelah masa yang panjang Hayy pun akhirnya mampu berbicara dengan bahasa Absal.


Kedua orang tersebut membandingkan pikirannya masing-masing, di mana yang satu murid dari alam, sedang yang lain adalah seorang filosof dan pemeluk agama, maka tahulah keduanya bahwa dirinya telah mencapai kesimpulan yang sama[9].


Dan melalui interaksinya dengan Hayy bin Yaqdhan, maka Absal pun tahu bahwa apa yang telah dicapai Hayy dengan akalnya secara mandiri tanpa bantuan yang lain itu ternyata mempunyai kesinambungan dengan apa yang telah di bawa oleh nabi-nabi.


Dan kemudian Absal pun membawa Hayy bin yaqdhan kepada kaumnya, dan mulai berorasi dan memperingatkan kaumnya (sebagaimana para nabi) dengan apa-apa yang telah ia lihat dan dapatkan dari pengalamannya tentang kesejatian hidup, keremehan harta benda dan pentingnya merenungi tanda-tanda kekuasaan Sang pencipta. Tetapi ia terlalu vulgar dalam penyampainnya, sehingga kaumnya pun menghindarinya karena menganggapnya menyimpang dari pemahaman literar matan-matan kudus wahyu. Akhirnya Hayy bin yaqdhan berpaling kepada Absal dan berkata bahwa nabi-nabi lebih tahu tentang jiwa-jiwa manusia dari pada dirinya dan pelajaran-pelajaran dan pengalaman yang ia capai ketika masih hidup di pulau bersama hewan-hewan itu lebih tinggi dan adi luhung dari fase manusia yang ia hadapi sekarang. Dan akhirnya Absal pun menemani Hayy bin yaqdhan hidup bersama-sama dengannya beribadah dan merenung sampai maut menjemput mereka.


Jika dilihat, maka akan didapati tiga hal dalam kisah tersebut yang masing-masing menjadi lambang tiga hidup yang berlainan:


1) Hayy bin Yaqdhan, sebagai lambang kekuatan akal dalam mencapai suatu kesimpulan atas keyakinan kepada Tuhan. Dengan memikirkan alam dengan isinya serta dirinya sendiri, lambat laun sampai pada keyakinan kepada Tuhan.


2) Tokoh Absal, sebagai lambang hidup tokoh agama, yang dengan memikirkan wahyu sebagai kebenaran, lambat laun sampai kepada keyakinan kepada Tuhan. Dari sini terlihat kesesuaian antara agama dan filsafat.


3) Keadaan di sekitar, sebagai lambang fakta-fakta kehidupan.


Dari sini kemudian dapat dipahami bahwa ada kesinambungan secara hierarkhis antara ilmu, agama, dan filsafat. Kijang yang mati merupakan fakta yang bisa menjadi bahan renungan Hayy bin Yaqdhan, apa di balik kematian itu? (ketika berbicara “di balik”, merupakan wilayah filsafat).


Di roman filsafatnya Ibnu Thufail juga ingin menyampaikan bahwa kebenaran ternyata memiliki dua wajah internal dan eksternal yang sebenarnya sama saja. Dan kedua wajah tersebut berkaitan dengan dikhotomi dua kalangan manusia yaitu kalangan khowash yang mampu mencapai taraf kecerdasan tertinggi baik melalui diskursus filosofis maupun pencerahan mistik (kasyaf) dan kalangan awam yang tak mampu mencapainya dan hanya mampu mengerti bahasa literal dari matan-matan kudus wahyu keagamaan.


PENUTUP


Peradaban Islam melahirkan banyak ahli filsafat yang ternama. Namun entah mengapa filsafat dan kesusastraan Islam tetap dianggap sebagai satu kelompok yang hilang dalam sejarah pemikiran manusia. Jangan heran bila dalam studi sejarah pemikiran lebih mengenal tokoh-tokoh yang berasal Yunani dan Barat ketimbang dari Islam.


Meskipun para ulama Islam yang ahli di bidang pemikiran dan kebudayaan dianggap berilian, namun mereka tak mendapat tempat yang sewajarnya dibandingkan dengan tokoh Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Karena itu, kajian-kajian mengenai tokoh-tokoh Islam berkenaan dengan khazanah intelektual Islam masih perlu ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya.


[1] M. Luthfi Jum’ah, Tarikh Falsafah al Islam, (Mesir: t.p., 1927), h. 304-305


[2] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 166


[3] Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. Arab oleh Edward Jurji et.al., (Beirut: t.p., 1952), h. 566


[4] Ibid., h. 173


[5] Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang: t.p., 1970), h. 150


[6] A. Mustofa, Filsafat…, h. 177


[7] Ibid., h. 178


[8] Ibid., h. 272


[9] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 163

IBNU KHALDUN DAN PEMIKIRANNYA TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN

A. PENDAHULUAN


Rasanya tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa falsafah tentang segala sesuatu bukan tidak lebih penting dari sesuatu itu sendiri, karena falsafahlah yang akan menentukan kemana tujuan dari sesuatu tersebut diarahkan, karena ia merupakan ide atau pembahasan yang sistematis tentang permasalahan yang sedang dihadapi, sebagaimana pula masalah pendidikan.


Brodi, seorang pakar filsafat pendidikan, sebagaimana dikutip Muhaimin dalam bukunya Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, mengatakan bahwa tugas filsafat pendidikan Islam adalah menyelidiki suatu persoalan metafisika, epistemologi, etika, logika, estetika, maupun kombinasi dari semuanya.


Dalam kaitannya dengan pemikiran Ibnu Khaldun mengenai filsafat pendidikan, dapat dikatakan bahwa pemikiran yang lahir pada pertengahan abad XIV itu telah mengakomodir ide-ide falsafah pendidikan yang masih aktual sampai hari ini. Hal itu sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun pada bab IV dari Muqaddimahnya, bahwa ilmu pendidikan bukan sebagai suatu aktifitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ia merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Dengan demikian pendidikan merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah masyarakat manusia, dan ia akan selalu berkembang sesuai perkembangan dan kemajuan peradaban manusia.


Karena disadari atau tidak, sesungguhnya manusia senantiasa berada dan tidak mungkin bisa keluar dari ruangan pendidikan yang disebut “dunia”, karena ketika sekolah dikatakan sebagai lembaga pendidikan formal, maka sesungguhnya “dunia” merupakan sekolah terbesar bagi manusia, karena di dalamnya dan dari padanya manusia dapat memperoleh banyak hal tentang pengetahuan kehidupan. Karena itu Ibnu Khaldun berkeyakinan bahwa manusia yang tidak sempat memperoleh pendidikan dari kedua orang tuanya, maka zamanlah yang akan mendidiknya.


Oleh karena pendidikan sesungguhnya tidak pernah mengenal batas usia, tempat dan waktu, sebab sepanjang kehidupannya pada hakekatnya manusia akan selalu berpikir, berkreasi, beraktifitas, memiliki pengalaman-pengalaman, serta tujuan-tujuan hidup yang akan dicapai dengan cara-cara itu atau metode tertentu, yang menurut Ibnu Khaldun tujuan itu adalah kebahagiaan dunia akhirat.


Berangkat dari uraian tersebut di atas, tulisan ini akan mencoba mendiskripsikan pandangan dan ide-ide Ibnu Khaldun tentang falsafah pendidikan yang secara implisit mengacu kepada tujuan sebagaimana tersebut di atas.






B. IBNU KHALDUN: BIOGRAFI DAN KARYANYA


1. Biografi Ibnu Khaldun


a. Asal Usul dan Pendidikannya


Ibnu Khaldun, nama lengkapnya adalah Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga, karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Mesir.


Adapun asal-usul Ibnu Khaldun menurut Ibnu Hazm ulama Andalusia yang wafat tahun 457 H/1065 M, disebutkan bahwa: Keluarga Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut di Yaman, dan kalau ditelusuri silsilahnya sampai kepada sahabat Rasulullah yang terkenal meriwayatkan kurang lebih 70 hadits dari Rasulullah, yaitu Wail bin Hujr. Nenek moyang Ibnu Khaldun adalah Khalid bin Usman, masuk Andalusia (Spanyol) bersama-sama para penakluk berkebangsaan Arab sekitar abad ke VII M., karena tertarik oleh kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh tentara Islam. Ia menetap di Carmona, suatu kota kecil yang terletak di tengah-tengah antara tiga kota yaitu Cordova, Granada dan Seville, yang di kemudian hari kota ini menjadi pusat kebudayaan Islam di Andalusia.


Pada abad ke VII M, anak cucu Khaldun pindah ke Sevilla yang pada masa pemerintahan Amir Abdullah Ibnu Muhammad dari Bani Umayyah (274-300 H.) Andalusia dalam suasana perpecahan dan perebutan kekuasaan dan yang paling parah adalah Sevilla. Dalam suasana seperti itu anak cucu Khaldun yang bernama Kuraib mengadakan pemberontakan bersama Umayyah Ibnu Abdul Ghofir, dia berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan pemerintahan (sebagai Amir) di Sevilla. Akan tetapi karena kekejaman dan kekerasannya dia tidak disenangi rakyat dan akhirnya meninggal terbunuh pada tahun 899 H.


Banu Khaldun tetap tinggal di Sevilla selama pemerintahan Umayyah dengan tidak mengambil peranan yang berarti sehingga datangnya pemerintahan raja-raja kecil (al-Thowalif) dan Sevilla berada dalam kekuasaan Ibnu Abbad. Pada masa itulah bintang Banu Khaldun meningkat lagi sampai pada masa pemerintahan Al-Muwahidun. Setelah raja-raja Thowaif mengalami kemunduran, maka muncullah raja-raja Muwahhidin menggeser kekuasaan raja-raja Murabbith. Pada pemerintahan Muwahhidun inilah Banu Khaldun menjalin hubungan dengan keluarga pemerintah, sehingga mereka mempunyai kedudukan yang terhormat. Tatkala kerajaan Muwahhidin mengalami kemunduran dan Andalusia menjadi kacau balau, maka Banu Khaldun pindah ke Tunisia pada tahun 1223 M. nenek moyang Ibnu Khaldun yang pertama mendarat ke Tunisia adalah al-Hasan Ibnu Muhammad (kakek keempat Ibnu Khaldun), kemudian disusul oleh saudara-saudaranya yang lain seperti Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar Muhammad dan lain-lain. Kakek Ibnu Khaldun itu rata-rata menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan waktu itu. Sedangkan anaknya Abu Abdillah Muhammad (ayah Ibnu Khaldun) tidak tertarik kepada jabatan pemerintahan, akan tetapi ia lebih mementingkan bidang ilmu dan pendidikan, sehingga ia dikenal sebagai ahli dalam bidang ilmu fiqih, meninggal tahun 749 H/1349 M. Ia meninggalkan beberapa orang anak diantaranya: Abu Yazid Waliuddin (Ibnu Khaldun), Umar, Musa, Yahya dan Muhammad. Pada waktu itu Ibnu Khaldun baru berusia 18 tahun.


Adapun pendidikan yang diperoleh Ibnu Khaldun diantaranya adalah pelajaran agama, bahasa, logika dan filsafat. Sebagai gurunya yang utama adalah ayahnya sendiri, di samping Ibnu Khaldun juga menghafal al-Qur’an, mempelajari fisika dan matematika dari ulama-ulama besar pada masanya. Di antara guru-guru Ibnu Khaldun adalah Muhammad bin Saad Burral al-Anshari, Muhammad bin Abdissalam, Muhammad bin Abdil Muhaimin al-Hadrami dan Abu Abdillah Muhammad bin Ibrohim al-Abilli. Dari merekalah Ibnu Khaldun mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Pada tahun 1349 setelah kedua orang tua Ibnu Khaldun meninggal dunia Ibnu Khaldun memutuskan untuk pindah ke Marokko, namun dicegah oleh kakaknya, baru tahun 1354 Ibnu Khaldun melaksanakan niatnya pergi ke Marokko, dan di sanalah Ibnu Khaldun mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan tingginya. Selama menjalani pendidikannya di Marokko, ada empat ilmu yang dipelajarinya secara mendalam yaitu: Kelompok bahasa Arab yang terdiri dari: Nahwu, shorof, balaghoh, khitabah dan sastra. Kelompok ilmu syari’at terdiri dari: Fiqh (Maliki), tafsir, hadits, ushul fiqh dan ilmu al-Qur’an. Kelompok ilmu ‘aqliyah (ilmu-ilmu filsafat) terdiri dari: filsafat, mantiq, fisika, matematika, falak, musik, dan sejarah. Kelompok ilmu kenegaraan terdiri atas: ilmu administrasi, organisasi, ekonomi dan politik. Dalam sepanjang hidupnya Ibnu Khaldun tidak pernah berhenti belajar, sebagaimana dikatakan oleh Von Wesendonk: bahwa sepanjang hidupnya, dari awal hingga wafatnya Ibnu Khaldun telah dengan sungguh-sungguh mencurahkan perhatiannya untuk mencari ilmu. Sehingga merupakan hal yang wajar apabila dengan kecermelangan otaknya dan didukung oleh kemauannya yang membaja untuk menjadi seorang yang alim dan arif, hanya dalam waktu kurang dari seperempat abad Ibnu Khaldun telah mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan.


b. Perjalanan dan Pengalaman Hidup Ibnu Khaldun setelah Usia Dewasa


Memasuki tahun ke-20 dari usianya, Ibnu Khaldun mulai tertarik dengan kehidupan politik, sehingga pada tahu 755 H./1354 Ml., karena kecakapannya Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris Sultan di Maroko, namun jabatan ini tidak lama di pangkunya, karena pada tahun 1357 Ibnu Khaldun terlibat dalam persekongkolan untuk menggulingkan Amir bersama Amir Abu Abdullah Muhammad, sehingga ia ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi tidak lama kemudian dia dibebaskan, yang kemudian pada tahun itu juga setelah Sultan meninggal dunia dan kekuasaan direbut oleh Al-Mansur bin Sulaiman dari menterinya Al-Hasan, maka Ibnu Khaldun menggabungkan diri dengan Al-Mansur dan dia diangkat menjadi sekretarisnya. Namun tidak lama kemudian Ibnu Khaldun meninggalkan Al-Mansur dan bekerjasama dengan Abu Salim. Pada waktu itu Abu Salim menduduki singgasana dan Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretarisnya dan dua tahun kemudian diangkat menjadi Mahkamah Agung. Di sinilah Ibnu Khaldun menunjukkan prestasinya yang luar biasa, tetapi itupun tidak berlangsung lama, karena pada tahun 762 H./1361 M., timbul pemberontakan di kalangan keluarga istana, maka pada waktu itu Ibnu Khaldun meninggalkan jabatan yang disandangnya.


Rupanya tidak tahan lama Ibnu Khaldun bergelut dengan dunia politik dia ingin kembali ke dalam dunia ilmu pengetahuan yang pernah lama digelutinya. Akhirnya dia memutar haluan bertolak ke daerah Banu Arif bersama keluarganya, dan di tempat inilah Ibnu Khaldun dan keluarganya baru merasa hidup tenang dan tentram jauh dari kemunafikan politik. Dalam ketenangannya itu Ibnu Khaldun merenung ingin menumpahkan semua pengalaman dan liku-liku kehidupannya. Maka dari sinilah ia mengalihkan perjalanan hidupnya dari petualang politik kembali kepada dunia ilmu pengetahuan, dan mulailah ia menyusun karya besarnya yang kemudian dikenal dengan “Muqoddimah Ibnu Khaldun”. Selama empat tahun tinggal di daerah Banu Arif Ibnu Khaldun juga menyusun sejarah besarnya Al-‘Ibar, akan tetapi karena kekurangan referensi maka ia pergi ke Tunisia, dan disanalah ia menyelesaikan karyanya. Rupanya ketenangan Ibnu Khaldun terganggu lagi ketika Sultan mengajaknya untuk mendampingi menumpas pengacau, namun karena Ibnu Khaldun sudah jenuh dengan kehidupan politik, maka kemudian ia pindah ke Mesir. Di Mesir Ibnu Khaldun disambut dengan hangat. Ilmuwan yang sarjana ini sudah tidak asing lagi di sana karena karya-karyanya sudah tersebar di sana. Sebagai orang baru Ibnu Khaldun langsung diberi dua jabatan penting yaitu sebagai hakim tinggi dan sebagai guru besar di perguruan Al-Azhar. Setelah sekian lama berhidmat untuk ilmu dan mengabdi kepada Afrika Utara dan Andalusia ilmuwan besar dan terkemuka itu meninggal dunia pada hari Rabu tanggal 25 Ramadhan 808 H. bertepatan dengan tanggal 17 Maret 1406 M. dalam usianya yang ke-76, dan dimakamkan di pekuburan orang-orang sufi Babul Nashr di Kairo.


c. Kepribadian dan Corak Pemikiran Ibnu Khaldun


Sebagai seoang pemikir Ibnu Khaldun memiliki watak yang luar biasa yang kadang terasa kurang baik. Dalam hal ini Muhammad Abdullah Enan melukiskan kepribadian Ibnu Khaldun yang istimewa itu dengan mencoba memperlihatkan ciri psikologik Ibnu Khaldun, walaupun diakuinya secara moral ini tidak selalu sesuai. Menurutnya ia melihat dalam diri Ibnu Khaldun terdapat sifat angkuh dan egoisme, penuh ambisi, tidak menentu dan kurang memiliki rasa terima kasih. Namun di samping sifat-sifatnya yang tersebut di atas dia juga mempunyai sifat pemberani, tabah dan kuat, teguh pendirian serta tahan uji. Disamping memiliki intelegensi yang tinggi, cerdas, berpandangan jauh dan pandai berpuisi. Menurut beberapa ahli, Ibnu Khaldun dalam proses pemikirannya mengalami percampuran yang unik, yaitu antara dua tokoh yang saling bertolak belakang, Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd. Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd bertentangan dalam bidang filsafat. Ibnu Rusyd adalah pengikut Aristoteles yang setia, sedangkan Al-Ghozali adalah penentang filsafat Aristoteles yang gigih. Ibnu Khaldun adalah pengikut Al-Ghozali dalam permusuhannya melawan logika Aristoteles, dan pengikut Ibnu Rusyd dalam usahanya mempengaruhi massa. Ibnu Khaldun adalah satu-satunya sarjana muslim waktu itu yang menyadari arti pentingnya praduga dan katagori dalam pemikiran untuk menyelesaikan perdebatan-perdebatan intelektual. Barangkali karena itulah seperti anggapan Fuad Baali bahwa Ibnu Khaldun membangun suatu bentuk logika baru yang realistik, sebagai upayanya untuk mengganti logika idealistik Aristoteles yang berpola paternalistik-absolutistik-spiritualistik. Sedangkan logika realistik Ibnu Khaldun ini berpola pikir relatifistik-temporalistik-materialistik.


Dengan berpola pikir seperti itulah Ibnu Khaldun mengamati dan menganalisa gejala-gejala sosial beserta sejarahnya, yang pada akhirnya tercipta suatu teori kemasyarakatan yang modern.


2. Karya-karya Ibnu Khaldun


Ibnu Khaldun terkenal sebagai ilmuwan besar adalah karena karyanya “Muqaddimah”. Rasanya memang aneh ia terkenal justru karena muqaddimahnya bukan karena karyanya yang pokok (al-‘Ibar), namun pengantar al-‘Ibarnyalah yang telah membuat namanya diagung-agungkan dalam sejarah intelektualisme. Karya monumentalnya itu telah membuat para sarjana baik di Barat maupun di Timur begitu mengaguminya. Sampai-sampai Windellband dalam filsafat sejarahnya menyebutnya sebagai “Tokoh ajaib yang sama sekali lepas, baik dari masa lampau maupun masa yang akan datang”.


Sebenarnya Ibnu Khaldun sudah memulai kariernya dalam bidang tulis menulis semenjak masa mudanya, tatkala ia masih menuntut ilmu pengetahuan, dan kemudian dilanjutkan ketika ia aktif dalam dunia politik dan pemerintahan. Adapun hasil karya-karyanya yang terkenal di antaranya adalah:


1. Kitab Muqaddimah, yang merupakan buku pertama dari kitab al-‘Ibar, yang terdiri dari bagian muqaddimah (pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti dari seluruh persoalan, dan buku tersebut pulalah yang mengangkat nama Ibnu Khaldun menjadi begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini adalah gejala-gejala sosial dan sejarahnya.


2. Kitab al-‘Ibar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar, yang terdiri dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab Muqaddimah, atau jilid pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki, yaitu pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri dari empat jilid, yaitu jilid kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang menguraikan tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa Syiria, Persia, Yahudi (Israel), Yunani, Romawi, Turki dan Franka (orang-orang Eropa). Kemudian Buku Ketiga terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujuh, yang berisi tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika Utara).


3. Kitab al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun wa Rihlatuhu Syarqon wa Ghorban atau disebut al-Ta’rif, dan oleh orang-orang Barat disebut dengan Autobiografi , merupakan bagian terakhir dari kitab al-‘Ibar yang berisi tentang beberapa bab mengenai kehidupan Ibnu Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah, karena terpisah dalam bab-bab, tapi saling berhubungan antara satu dengan yang lain.






C. PEMIKIRAN IBNU KHALDUN TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN


1. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun


Pada bab ini akan dibahas pandangan-pandangan Ibnu Khaldun mengenai pendidikan. Menurut Ibnu Khaldun dalam awal pembahasannya pada bab empat dari Muqaddimahnya, dia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semat-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.


Di dalam kitab Muqaddimahnya Ibnu Khaldun tidak memberikan definisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan Ibnu Khaldun bahwa:


Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya.






Dari pendapatnya ini dapat diketahui bahwa pendidikan menurut Ibnu Khaldun mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, tetapi pendidikan adalah suatu proses, di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.


Menurut Ibnu Khaldun bahwa secara esensial manusia itu bodoh, dan menjadi berilmu melalui pencarian ilmu pengetahuan. Alasan yang dikemukakan bahwa manusia adalah bagian dari jenis binatang, dan Allah SWT telah membedakannya dengan binatang dengan diberi akal pikiran. Kemampuan manusia untuk berfikir baru dapat dicapai setelah sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan, yaitu dengan melalui proses; kemampuan membedakan. Sebelum pada tahap ini manusia sama sekali persis seperti binatang, manusia hanya berupa setetes sperma, segumpal darah, sekerat daging dan masih ditentukan rupa mentalnya. Kemudian Allah memberikan anugerah berupa pendengaran, penglihatan dan akal. Pada waktu itu manusia adalah materi sepenuhnya karena itu dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Dia mencapai kesempurnaan bentuknya melalui ilmu pengetahuan yang dicari melalui organ tubuhnya sendiri. Setelah manusia mencapai eksistensinya, dia siap menerima apa yang dibawa para Nabi dan mengamalkannya demi akhiratnya. Maka dia selalu berfikir tentang semuanya. Dari pikiran ini tercipta berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian-keahlian. Kemudian manusia ingin mencapai apa yang menjadi tuntutan wataknya; yaitu ingin mengetahui segala sesuatu, lalu dia mencari orang yang lebih dulu memiliki ilmu atau kelebihan. Setelah itu pikiran dan pandangannya dicurahkan pada hakekat kebenaran satu demi satu serta memperhatikan peristiwa-peristiwa yang dialaminya yang berguna bagi esensinya. Akhirnya dia menjadi terlatih sehingga pengajaran terhadap gejala hakekat menjadi suatu kebiasaan (malakah) baginya. Ketika itu ilmunya menjadi suatu ilmu spesial, dan jiwa generasi yang sedang tumbuh pun tertarik untuk memperoleh ilmu tersebut. Merekapun meminta bantuan para ahli ilmu pengetahuan, dan dari sinilah timbul pengajaran. Inilah yang oleh Ibnu Khaldun dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang alami di dalam peradaban manusia.


Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun, bahwa di dalam Muqaddimahnya ia tidak merumuskan tujuan pendidikan secara jelas, akan tetapi dari uraian yang tersirat, dapat diketahui tujuan yang seharusnya dicapai di dalam pendidikan. Dalam hal ini al-Toumy mencoba menganalisa isi Muqaddimahnya dan ditemukan beberapa tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Dijelaskan menurutnya ada enam tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan, antara lain:


1. Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan, yaitu dengan mengajarkan syair-syair agama menurut al-Qur’an dan Hadits Nabi sebab dengan jalan itu potensi iman itu diperkuat, sebagaimana dengan potensi-potensi lain yang jika kita mendarah daging, maka ia seakan-akan menjadi fithrah.


2. Menyiapkan seseorang dari segi akhlak. Hal ini sesuai pula dengan apa yang dikatakan Muhammad AR., bahwa hakekat pendidikan menurut Islam sesungguhnya adalah menumbuhkan dan membentuk kepribadian manusia yang sempurna melalui budi luhur dan akhlak mulia.


3. Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.


4. Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan. Ditegaskannya tentang pentingnya pekerjaan sepanjang umur manusia, sedang pengajaran atau pendidikan menurutnya termasuk di antara ketrampilan-ketrampilan itu.


5. Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang dapat memegang berbagai pekerjaan atau ketrampilan tertentu.


6. Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, di sini termasuk musik, syair, khat, seni bina dan lain-lain.






Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian. Dia telah memberikan porsi yang sama antara apa yang akan dicapai dalam urusan ukhrowi dan duniawi, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki. Maka atas dasar itulah Ibnu Khaldun beranggapan bahwa target pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena dia memandang aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu. Karena kematangan berfikir adalah alat kemajuan ilmu industri dan sistem sosial.


Dari rumusan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun menganut prinsip keseimbangan. Dia ingin anak didik mencapai kebahagiaan duniawi dan sekaligus ukhrowinya kelak. Berangkat dari pengamatan terhadap rumusan tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun, secara jelas kita dapat melihat bahwa ciri khas pendidikan Islam yaitu sifat moral religius nampak jelas dalam tujuan pendidikannya, dengan tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi. Sehingga secara umum dapat kita katakan bahwa pendapat Ibnu Khaldun tentang pendidikan telah sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam yakni aspirasi yang bernafaskan agama dan moral.


2. Pandangan Ibnu Khaldun mengenai Kurikulum dan Materi Pendidikan


Sebelum membahas pandangan Ibnu Khaldun tentang kurikulum perlu kiranya diberikan pengertian kurikulum pada zamannya, karena kurikulum pada zamannya tentu saja berbeda dengan kurikulum masa kini yang telah memiliki pengertian yang lebih luas. Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan.


Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan, pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan. Dalam pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib, bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada mempelajari al-Qur’an dari berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang Andalusia, mereka menjadikan al-Qur’an sebagai dasar dalam pengajarannya, karena al-Qur’an merupakan sumber Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan. Sehingga mereka tidak membatasi pengajaran anak-anak pada mempelajari al-Qur’an saja, akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair, karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan lain. Demikian pula dengan orang-orang Ifrikiya, mereka mengkombinasikan pengajaran al-Qur’an dengan hadits dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu.


Adapun metode yang dipakai orang Timur seperti pengakuan Ibnu Khaldun, sejauh yang ia ketahui bahwa orang-orang Timur memiliki jenis kurikulum campuran antara pengajaran al-Qur’an dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menganjurkan agar pada anak-anak seyogyanya terlebih dahulu diajarkan bahasa Arab sebelum ilmu-ilmu yang lain, karena bahasa adalah merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan, sehingga menurutnya mengajarkan al-Qur’an mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan pemahaman anak terhadap al-Qur’an itu sendiri, karena anak akan membaca apa yang tidak dimengertinya dan hal ini menurutnya tidak ada gunanya.


Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:


1. Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)


Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits.


Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.


2. Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)


Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu: a. Ilmu logika, b. Ilmu fisika, c. Ilmu metafisika dan d. Ilmu matematika. Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi ilmunya.


Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:


1. Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.


2. Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika)


3. Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.


4. Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.


Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama.


Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang materi ilmu pengetahuan yang menunjukkan keseimbangan antara ilmu syari’at (agama) dan ilmu ‘Aqliyah (filsafat). Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat yang pertama, hal itu ditinjau dari segi kegunaannya bagi anak didik, karena membantunya untuk hidup dengan seimbang namun dia juga meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di tempat yang mulia sejajar dengan ilmu agama. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu pengetahuan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar banyak tergantung pada para pendidik, bagaimana dan sejauh mana mereka pandai mempergunakan berbagai metode yang tepat dan baik.


3. Pandangan Ibnu Khaldun tentang Metode Pendidikan


Pandangan Ibnu Khaldun tentang metode pengajaran merupakan bagian dari pembahasan pada buku Muqaddimahnya. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah pendidikan Islam dapat kita simak bahwa dalam berbagai kondisi dan situasi yang berbeda, telah diterapkan metode pengajaran. Dan metode yang dipergunakan bukan hanya metode mengajar bagi pendidik, melainkan juga metode belajar yang harus digunakan oleh anak didik. Hal ini sebagaimana telah dibahas Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimahnya.


Di dalam buku Muqaddimahnya dia telah mencanangkan langkah-langkah pendidikan sebagai berikut:


Pertama: Didalam memberikan pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya memberikan problem-problem pokok yang bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik.


Kedua: Setelah pendidik memberikan problem-problem yang umum dari pengetahuan tadi baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan terperinci.


Ketiga: Pada langkah ketiga ini pendidik menyampaikan pengetahuan kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua persoalan bagaimapaun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang sempurna. Demikian itu metode umum yang ditawarkan Ibnu Khaldun di dalam proses belajar mengajar.


Disamping itu Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang menurutnya metode ini membuat anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang benar. Disamping metode yang sudah disebut di atas Ibnu Khaldun juga menganjurkan metode peragaan, karena dengan metode ini proses pengajaran akan lebih efektif dan materi pelajaran akan lebih cepat ditangkap anak didik. Satu hal yang menunjukkan kematangan berfikir Ibnu Khaldun, adalah prinsipnya bahwa belajar bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi. Karena menurutnya belajar dengan berdiskusi akan menghidupkan kreativitas pikir anak, dapat memecahkan masalah dan pandai menghargai pendapat orang lain, disamping dengan berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan paham terhadap apa yang dipelajarinya. Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan. Dan apabila kita cermati satu demi satu pandangannya tentang kurikulum materi dan metode pendidikan, maka dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa ilmuan yang diakui Barat dan Timur ini memang memiliki pandangan yang jauh ke depan dalam berbagai masalah pengetahuan, berfikir universal dan sintetik, sehingga filsafatnya tentang pendidikan tidak pernah dirasanya usang bahkan banyak diteladani baik kawan maupun lawan.






D. KESIMPULAN


Mengakhiri tulisan tentang Filsafat Pendidikan dalam pandangan Ibnu Khaldun ini ada beberapa hal yang menurut hemat penulis perlu mendapatkan perhatian.


Yakni bahwa sebagai ilmuan yang juga sejarawan Ibnu Khaldun telah banyak turut mewarnai pemikiran-pemikiran tentang pendidikan. Dia telah mencanangkan dasar-dasar dan sistem pendidikan yang patut diteladani baik di masa lalu maupun masa sekarang. Dari segi metode, materi, maupun kurikulum yang ditawarkan secara keseluruhan pantas untuk dikaji dan dicermati.


Walaupun di dalam menuangkan tentang pandangannya terhadap filsafat pendidikan Ibnu Khaldun hanya mengemukakan secara garis besar, namun harus diakui bahwa sumbangannya terhadap proses pendidikan cukuplah besar. Dia telah menyajikan pandangan-pandangannya dalam bentuk orientasi umum, sehingga dia mengatakan bahwa aktifitas pendidikan bukan semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, akan tetapi ia merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani, dan karenanya ia harus dinikmati oleh setiap makhluk sosial yang bernama manusia. Karena orientasi pendidikan menurutnya adalah bagaimana bisa hidup bermasyarakat.


Sementara itu Ibnu Khaldun melihat bahwa penguasaan terhadap bahasa merupakan prasyarat bagi keberhasilan suatu pendidikan.


Adapun metode yang ditawarkan Ibnu Khaldun adalah bersifat intelektualitas, dengan prinsip memberikan kemudahan-kemudahan bagi anak didik, demi terciptanya tujuan pendidikan. Karena menurutnya hakekat manusia itu adalah jiwanya, sehingga jiwanyalah yang akan menentukan hakekat perbuatan-perbuatannya, termasuk perbuatan pendidikan.

RUU INTELEJEN VERSI ORANG KAMPUNG

Saat ini sedang di bahas RUU intelejen oleh DPR bersama pemerintah, bulan desember lalu DPR  telah mengajukan RUU Intelejen sebagai RUU inisatif DPR. Menanggapi RUU itu, pemerintah yang diwakili menhukham patrialis akbar, menhan Purnomo yusgiantoro, dan kepala BIN Susanto, rabu (16 3 11) lalu meyerahkan Daftar inventaris masalah (dim) RUU intelejen ke DPR.
Ada satu hal yang mengusik terkait momentum didesakkannya pembahasan RUU tersebut,yaitu setelah terjadi berbagai bentrokan antar kelompok sejak pertengahan tahun lalu yang di tudingkan berlatar agama , menyusul terror bom dan munculnya isu kudeta, dan yang paling mencuat adalah isu melemahnya intelejen, dengan itu intelejen harus di perkuat . padahal semua mungkin hanya rekayasa seolah menjadi berkah untuk mendesak dibahasnya RUU intelejen tersebut
Penyusunan peraturan perundang-undangan harus dicermatai secara seksama , sebab hal itu akan mempengaruhi system di masyarakat yang berdampak dominan dalam ber interaksi social
Perlu diketahui , bahwa segala sesuatu yang bersifat diplomatis apalagi bersipat hokum dan aturan, vonis  di alam demokrasi semua itu teidak terlepas dari kepentingan politik, baik pengusa atupun pengusaha
Pengajuan RUU intelejen oleh DPR dan pan DIM RUU intelejen ini akan membuka pintu keresahan di negeri ini mulai kembali, sebagi mana yang saya kaji dalam draf tersebut , terdiri dari 46 pasal terbagi dalam 10 bab , ada yang jadi catatn penting bagi masyarakat  dan kaum pergerakan di seluruh Indonesia
1.       Ada kata frase  yang artinya multi tafsir/umum , hal ini berpeluang sikap kritis masyarakat terhadap pemerintah akan di bungkam karena akan dianggap sebagai ancaman, apa lagi di negeri yang beragama demokrasi ini, ancaman ini bias saja di manfaatkan oleh pihak terkait untuk kepentingan politik
2.       Dalam RUU intelejen pasal 1 dikatakan bahwa intelejenmerupakan lembaga pemerintah, tidak dikatakan lembaga Negara, hal ini berarti intelejen dapat dipakai oleh pihak nyang berkuasa untuk memata-matai rakyat dan musuh politiknya
3.       Dalam pasal 31 , intelejen berkah menyadap terhadap komunikasi atau pun dokumen elektronik , aliran dana siapa saja yang diduga teroris, spionis, dl yang mengancam kestabilan nasional. Pemberian wewnang ini akan menjadi pintu penyalah gunaan kekuasan, apalagi penyalah gunaan tersebut tidak berdasar definisi, criteria dan tolak ukur, yang nantinya akan tergantung selera pengusa . padahal Negara hokum mana yang membolehkan penyadapan tanpa putusan dipengadilan
4.       Dalam DIM dijelaskan bahwa BIN berahak menagkap dan melakukan pemeriksaan paling lama 7 X 24 jam, yang berarti tanpa surat penagkapan , tanpa putusan ,pengcar,tanpa pemberitahuan pada keluarga , asal mencurigakan BIN berhak melakukannya, lalu apa bedanya dengan penculikan, ?
Apa bedanya dengan era orde baru, sebelum dan sesusah reformasi? Padahal dinegara hokum mana pun yang berhak menangkap adalah aparat berwenang yakni kepolisian
5.       Tidak adanya mekanisme pengaduan ..yang jadi korban rakyat, dan akan tumbuh rezim intel
6.       Dalam RUU tidak diatur draf angaran pembelanjaan , hal ini akan bersifat kondisional yang cenderung akan dimanfaatkan oleh para koruptor menguras anggaran di negeri ini

PERKEMBANGAN FILSAFAT ISLAM



Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, diakui banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi makin pesat. Namun demikian, seperti dikatakan Oliver Leaman, adalah suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani tersebut atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles (384-322 SM) seperti dituduhkan Renan, atau dari Neo-Platonisme seperti dituduhkan Duhem. Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru atau membebek semata. Mesti difahami bahwa kebudayaan Islam menembus berbagai macam gelombang dimana ia bergumul dan berinteraksi. Pergumulan dan intereksi ini melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Jika kebudayaan Islam tersebut terpengaruh oleh kebudayaan Yunani, mengapa tidak terpengaruh oleh peradaban India dan Persia, misalnya? Artinya, transformasi dan peminjaman beberapa pemikiran tidak harus mengkonsekuensikan perbudakan dan penjiplakan. 

Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani

Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi buku-buku filsafatnya yang kemudian melahirkan filosof pertama muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811-833 M), oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq. Pada masa-masa ini, sistem berfikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kal�m (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun Wasil ibn Ata�E(699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (w. 760 M), Jahiz Amr ibn Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Mu`ammar ibn Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mu`tamir (w. 840 M). Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinb�th) dengan istilah-istilah seperti istihs�n, istishl�h, qiy�s dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode istinb�th dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi�i (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani. 
Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni dalam soal-soal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam. 

A. Sumber Pemikiran Rasional Islam.
Jika demikian, dari mana pemikiran rasional filosofis Islam itu sendiri berawal? Sebagaimana dinyatakan para peneliti yang kritis, muslim maupun non-muslim, pemikian rasional-filosofis Islam lahir bukan dari fihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri, dari al-Qur`an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk mensesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal perkembangan Islam, ketika Rasul saw masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi lewat jalan kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci, al-Qur`an, lewat berbagai pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan takw�. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan mendalam, karena ia berusaha �keluar�Edari makna lahiriyah (zhahir) teks. (2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Disini justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3) Penggunaan qiy�s (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara langsung dalam teks. Misalnya, apakah larangan menimbun emas dan perak (QS. Al-Taubah, 34) itu hanya berlaku pada emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata �mukmin�Edan �muslim�Edalam al-Qur`an juga mencakup wanita dan budak?

Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan maha tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa antropomorfis (menyerupai sifat-sifat manusia) al-Qur`an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya. Semua itu menggiring para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk berfikir rasional dan filosofis, dan kenyatannya metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah teologis tidak berbeda dengan model filsafat Yunani. Perbedaan diantara keduanya, menurut Leaman, hanyalah terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku. Setelah itu, masuklah pemikiran dan filsafat Yunani, lewat program penterjemahan. 

B. Filsafat Yunani dalam Pemikiran Islam. 

Peradaban dan pemikiran Yunani, termasuk filsafat, menurut catatan para sejarawan, telah mulai di kenal dan dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara), juga di Nisibis dan Ras`aina (wilayah dataran tinggi Iraq) sejak abad ke IV M. Kegiatan akademik ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu oleh penaklukan tentara muslim ke wilayah tersebut yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab (634-644 M). Setidaknya ini bisa dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi di biara Qinissirin di Syiria dan munculnya tokoh yang menghasilkan karya-karya filsafat, seperti Severas Sebokht (w. 667 M) yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles, juga Jacob (w. 708 M) yang menulis Enchiridion dan menterjemahkan Categories karya Aristoteles kedalam bahasa Arab. 
Buku-buku dan ilmu-ilmu Yunani yang lain yang di terjemahkan ke dalam bahasa Arab dalam periode ini, yakni masa kekhalifahan Bani Ummayah (661-750 M), khususnya pada masa kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M) adalah terutama yang berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi untuk mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia. Selanjutnya, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia dan antropologi. Hanya saja, karena pemerintahan lebih disibukan oleh persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha keilmuan ini tidak berlangsung baik.
Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai bertemu dan dikenal dalam pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan Bani Abas, khususnya sejak dilakukan program penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun (811-833 M); suatu program yang oleh al-Jabiri dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi bayani Arab. Program penterjemahan dan kebutuhan akan penggunaan metode filsafat ini sendiri, di dasarkan atas tuntutan kebutuhan yang ada, bahwa saat itu muncul banyak doktrin yang --kurang lebih-- hiterodok yang datang dari Iran, India, Persia atau daerah lain dari pinggiran Islam, seperti Mazdiah, Manikian, materialisme, atau bahkan dari pusat Islam sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah �zindiq�E Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim (ulama) merasa perlu untuk mencari sistem berfikir rasional dan argumen-argumen yang masuk akal, karena metode sebelumnya, bayani sudah tidak memadai lagi untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang tidak dikenal sebelumnya. Karena itu, Ira M. Lapidus menyatakan bahwa filsafat bukan sekedar bentuk analisis secara murni tetapi telah menjadi bagian dari agama. 
Selanjutnya, metode dan pemikiran filsafat Yunani ini, dalam pemikiran Islam, pertama kali dikenalkan dan digunakan oleh al-Kindi (806-875). Dalam kata pengantar buku �Filsafat Pertama�E(al-Falsafat al-�la), yang dipersembahkan untuk khalifah al-Mu`tashim (833-842), al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidaksenangannya pada orang-orang yang anti filsafat, yakni para pendukung bayani. Namun, karena begitu dominannya kaum bayani (fuqaha) ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan, apa yang disampaikan al-Kindi tidak begitu bergema. Meski demikian, al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam; kesejajaran antara pengetahuan manusia dan Tuhan, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang; (1) penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana pembuktiannya, (3) pengetahuan Tuhan yang partikuar, apa ada hubungannya dengan astrologi dan bagaimana terjadinya. 
Metode rasional filsafat Yunani semakin masuk sebagai salah satu sistem pemikiran Arab-Islam adalah setelah masa al-Razi (865-925). Ia di kenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi, semua pengetahuan --pada prinsipnya- dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal atau rasiolah yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk; setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka dan kebohongan.
Meski demikian, perkembangan yang pesat pada ilmu-ilmu Yunani dalam Islam berkat dukungan yang besar dari Khalifah sebagaimana diatas bukan tidak menimbulkan persoalan. Imam Ibn Hanbal (780-855 M), salah seorang imam mazhab fiqh dan orang-orang yang sepikiran dengannya dari kalangan ortodoks menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu Yunani. Menurut George N. Atiyeh, penentangan kalangan ortodoks tersebut disebabkan, pertama, adanya ketakutan dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani adalah orang-orang non-muslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia dan muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machieanisme Persia khususnya maupun faham-faham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran filsafat Yunani.
Kecurigaan dan penentangan kaum ortodoks terhadap ilmu-ilmu Yunani memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya, tidak sedikit tokoh muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah satunya adalah Ibn Rawandi (lahir 825 M). Ia menolak adanya kenabian, setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip kenabian bertentangan dengan akal sehat, begitu pula tentang syareat-syareat yang dibawanya, karena semua itu telah bisa dicapai oleh akal; akal telah mampu mengapai apa yang benar dan salah, yang baik dan jahat dan seterusnya. Contoh lain adalah al-Razi (865-925 M). Al-Razi juga menolak kenabian dengan tiga alasan; (1) bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi. (2) Tidak ada pembenaran untuk pengistemewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka, (3) bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan. 
Usaha penentangan kaum ortodoks yang dipelopori Ibn Hanbal terhadap ilmu-ilmu Yunani diatas mencapai puncak dan keberhasilannya pada masa khalifah al-Mutawakkil (847-861 M). Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung kaum ortodoks (salaf) menyebabkan kalangan yang tadinya tertindas ini memperoleh angin dan muncul kepermukaan menggantikan posisi orang-orang Muktazilah khususnya dan para ahli filsafat umumnya, dan mulailah terjadi �revolosi�E orang-orang yang tidak sefaham dipecat dan diganti dari kalangan salaf. Al-Kindi yang ahli filsafat adalah salah satu contoh, dipecat dari jabatannya sebagai guru istana karena tidak sefaham dengan sang khalifah yang salaf. 
Terkena tindakan keras dan resmi pemerintah tersebut, untuk sementara, khususnya di ibu kota Baghdad, filsafat mengalami kemunduran, setidaknya tidak mengalami perkembangan berarti, karena tidak bisa diajarkan secara bebas dan terbuka. Akan tetapi, diluar Baghdad, di kota-kota propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan, sehingga melahirkan seorang filosof besar, yakni al-Farabi (870-950). Tokoh yang dikenal sebagai folosof paripatetik ini tidak hanya menggunakan metode burhani dalam filsafatnya tetapi bahkan berhasil meletakkan filsafat Aristoteles sebagai dasar-dasar filsafat Islam sehingga dianggap sebagai �guru kedua�E(al-mu`allim al-ts�ni) setelah Aristoteles sebagai �guru pertama�E(al-mu`allim al-aww�l). 
Selain itu, al-Farabi juga menempatkan burhani sebagai metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu agama; teologi (ilm al-kal�m) dan yurisprodensi (fiqh), yang tidak mempergunakan metode burhani. Dalam hal ini ia membuat tiga klasifikasi keilmuan; ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu bahasa. Menurutnya, ilmu-ilmu filsafat berada dalam hierarki paling tinggi dan unggul disusul kemudian ilmu-ilmu religius dan ilmu bahasa. Yang termasuk ilmu-ilmu filsafat adalah metafisika, matematika, ilmu-ilmu alam dan ilmu politik. Sampai disini filsafat Yunani telah memperoleh tempat dan posisi yang cukup mapan dalam percaturan pemikiran Arab-Islam. Dukungan dan pembelaan yang ketat dari al-Farabi telah menyebabkan filsafat memperoleh tempat yang demikian, bahkan melebihi posisi ilmu-ilmu yang diklaim sebagai ilmu religius.
Dengan posisi seperti itu, maka tidak mengherankan jika dalam waktu yang tidak lama, pemikiran filsafat Yunani segera menduduki posisi puncak dalam percaturan pemikiran Arab-Islam, yakni pada masa Ibn Sina (980-1037 M). Dalam filsafat, seperti halnya al-Farabi, Ibn Sina menegakkan bangunan Neoplatonisme diatas dasar kosmologi Aristoteles-Plotinus, dimana dalam bangunan tersebut digabungkan konsep pembangunan alam wujud menurut faham emanasi. Dalam kaitannya dengan kenabian, Ibn Sina juga berusaha membuktikan adanya kenabian, dengan menyatakan bahwa kenabian merupakan bagian tertinggi dari sukma yang disebut �akal�E berbeda dengan al-Farabi yang menyatakan bahwa kenabian adalah suatu bentuk imajinasi tertinggi. Dengan prestasi-prestasi yang hebat dalam filsafat, Ibn Sina kemudian diberi gelar �Guru Utama�E(al-Syaikh al-Rais). 
Akan tetapi, segera setelah Ibn Sina, filsafat Yunani kembali mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali, meski al-Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat tulisannya dalam Tah�fut al-Fal�sifah yang diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlal�l, al-Ghazali, sebenarnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037), meski serangan pada kedua tokoh ini sebenarnya tidak tepat, juga pada pemikiran para filosof Yunani purba, seperti Thales (545 SM), Anaximandros (547 SM), Anaximenes (528 SM) dan Heraklitos (480 SM) yang dengan mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang awam, bukan ilmu logika atau epistimologinya, karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan, dalam al-Mustashf�Efi `ul�m al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat, yakni burhani. Akan tetapi, kebesaran al-Ghazali sebagai �Hujjat al-Isl�m�Etelah begitu mengungkung kesadaran masyarakat muslim, sehingga tanpa mengkaji kembali persoalan tersebut dengan teliti mereka telah ikut menyatakan perang dan antipati terhadap filsafat. Bahkan, sampai sekarang di perguruan tinggi sekalipun, jika ada kajian filsafat umumnya masih lebih banyak dilihat pada sisi sejarahnya, bukan metodologi, sistematika atau substansi pemikirannya. 
Filsafat Yunani, khususnya Aristotelian, kemudian muncul lagi dalam arena pemikiran Islam pada masa Ibn Rusyd (1126-1198). Lewat tulisannya dalam Tah�fut al-Tah�fut, Ibn Rusyd berusaha mengangkat kembali filsafat Aristoteles dari serangan al-Ghazali. Namun, usaha ini rupanya kurang berhasil, karena menurut Nurcholish, balasan yang diberikan Ibn Rusyd lebih bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali bersifat Neo-platonis. Meski demikian, jelas bahwa dalam bandingannya dengan epistemologi Arab-Islam, Ibn Rusyd lebih mengunggulkan epistemologi filsafat dibanding epistemologi Arab-Islam. Menurutnya, metode burhani (demonstratif) yang dipakai dalam filsafat adalah metode yang sangat bagus dan berguna untuk kalangan elite terpelajar, sementara metode dialektika (jadal) yang dipakai dalam teologi dan yurisprodensi adalah metode biasa yang sesuai untuk kalangan menengah dan kalangan awam. 
Setelah Ibn Rusyd, filsafat yang nota bene dari Yunani itu tidak lagi terdengar gemanya dalam pemikiran Islam hingga saat ini.

Dikalangan elite terpelajar madzhab ini, pemikiran filsafat masih tetap berjalan dan hidup, sehingga masih lahir tokoh-tokoh terkemuka seperti Mulla Sadra (1571-1640), Mullah Hadi (1797-1873) dan lainnya. 

C. Penutup.
Dalam bagian akhir ini, ada tiga hal yang perlu disampaikan. Pertama, bahwa perjalanan pemikiran filsafat Islam ternyata mengalami pasang surut; pertama-tama disambut dengan baik karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi pemikiran-pemikiran �aneh�E tapi kemudian dicurigai karena ternyata tidak jarang justru digunakan untuk menyerang ajaran agama yang dianggap baku, khususnya pada masa Ibn Hanbal. Setelah itu, filsafat dibela kembali oleh al-Farabi dan mencapai puncak pada masa Ibn Sina, tapi kemudian jatuh lagi oleh serangan al-Ghazali, bangkit lagi pada masa Ibn Rusyd tapi akhirnya tidak terdengar suaranya, sampai sekarang, kecuali dalam mazhab Syi`ah.

Kedua, bahwa filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam tidak hanya logika Aristoteles, tetapi juga pemikian mistik Neo-platonis dan yang lain. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya model filsafat yang ada dalam Islam. Misalnya, al-Farabi dan Ibn Sina yang Platonis dalam konsepnya tentang emanasi, dan Ibn Rusyd yang Aristotelian ketika menjawab serangan al-Ghazali. 

Ketiga, kecurigaan dan penentangan yang diberikan oleh sebagian tokoh muslim terhadap logika dan pemikiran filsafat, bukan semata-mata disebabkan bahwa ia berasal dari luar Islam tetapi lebih didasarkan atas kenyataan bahwa �saat itu-- filsafat mengandung dampak yang berbahaya bagi aqidah masyarakat. Apa yang dilakukan Ibn Rawandi (lahir 825 M) dan al-Razi (865-925 M) yang sampai menolak kenabian karena mengikuti filsafat, juga apa yang dilakukan oknum tertentu yang mengatasnamakan filsafat pada masa al-Ghazali adalah bukti nyata tentang hal itu 

GAYA BERFIKIR ROSUL DALAM BER FILSAFAT DAN BER IDEOLOGI



Seorang muslim yang sejati adalah apabila ia telah menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai idola dalam hidupnya. Kita ikuti sikap dan tindak-tanduknya, demikian pula filsafat hidupnya harus diteladani.
Bagaimana filsafat hidup Rasulullah? Filsafat hidup adalah hal yang abstrak, yakni bagaimana seseorang memandang suatu persoalan hidup, cara memecahkan atau menyelesaikannya. Ada beberapa filsafat hidup yang dianut oleh manusia:
1.      Pertama : Dalam hidup ini yang penting perut kenyang dan badan sehat.
2.      Kedua   : Dalam hidup ini mengikuti ke mana arah angin berhembus, angin berhembus ke Timur, ikut ke Timur, angin berhembus ke Barat, ikut ke Barat, suapaya selamat dan mendapatkan apa yang diinginkan.
3.      Ketiga  : Dalam hidup ini yang penting "GUE SENENG" masa bodoh dengan urusan orang lain.
4.      Keempat : Dalam hidup ini harus baik di dunia dan baik di akhirat.
Sebagai muslim sudah selayaknya kita berfilsafat sebagaimana filsafat hidup Rasulullah SAW.

Filsafat hidup Rasulullah adalah sebagai berikut :
1.      Pertama : Rasulullah pernah ditanya oleh seorang sahabat. "Wahai Rasulullah, bagaimana kriteria orang yang baik itu? Rasulullah menjawab:
Yang artinya: "Sebaik-baiknya manusia ialah orang yang bermanfaat bagi orang lain".
Jika ia seorang hartawan, hartanya tidak dinikmati sendiri, tapi dinikmati pula oleh tetangga, sanak famili dan juga didermakan untuk kepentingan masyarakat dan agama. Inilah ciri-ciri orang yang baik. Jika berilmu, ilmunya dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak. Jika berpangkat, dijadikannya sebagai tempat bernaung orang-orang disekitarnya dan jika tanda tangannya berharga maka digunakan untuk kepentingan masyarakat dan agama, tidak hanya mementingkan diri dan golongannya sendiri.
Pokoknya segala kemampuan/potensi hidupnya dapat dinikmati orang lain, dengan kata lain orang baik adalah orang yang dapat memfungsikan dirinya ditengah-tengah masyarakat dan bermanfaat.
Sebaliknya kalau ada orang yang tidak bisa memberi manfaat untuk orang lain atau masyarakat sekitarnya bahkan segala kenikmatan hanya dinikmatinya sendiri, berarti orang itu jelek. Adanya orang seperti itu tidak merubah keadaan dan perginyapun tidak merugikan masyarakat.
Jadi filsafat hidup Rasulullah SAW menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, sudah sepantasnya bagi kita sebagai manusia untuk memegang filsafat hidup. Orang yang hanya menanam rumput untuk makanan ternak ia akan mendapatkan rumput tapi padinya tidak dapat, sebaliknya orang yang menanam padi, ia akan mendapatkan padi dan sekaligus mendapatkan rumput, karena rumput tanpa ditanam akan tumbuh sendiri. Begitu juga dengan kita yang hidup ini, kalau niat dan motivasinya sekedar mencari rumput (uang) iapun akan memperolehnya, tetapi tidak dapat padinya atau tidak akan memperoleh nilai ibadah dari seluruh pekerjaannya.
Oleh karena itu dalam menjalankan kehidupan, niatkan  untuk ibadah dengan suatu keyakinan bahwa pekerjaan dan tempat kerja kita, kita yakini sebagai tempat mengabdi kepada Nusa, Bangsa dan Negara, dan sebagai upaya menghambakan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian maka setiap hendak berangkat ke tempat bekerja berniatlah beribadah, Insya Allah seluruh pekerjaan kita akan bernilai ibadah, dan mendapatkan pahala.
Alangkah ruginya orang yang hidup ini niatnya hanya mencari "rumput" walau hal itu penting, tetapi kalau niatnya hanya itu saja, orang tersebut termasuk orang yang rugi, karena ia tidak akan mendapatkan nilai ibadah dari pekerjaannya.
Yang namanya ibadah bukan hanya shalat, zakat, puasa atau membaca Al-Qur'an saja, tetapi bekerja, mengabdi kepada masyarakat, Negara dan Bangsa dengan niat Lillahi Ta'ala ataupun ibadah. Hal ini penting untuk diketahui, karena ada yang berfilsafat: Kalau ada duitnya baru mau kerja, kalau tidak ada duitnya malas bekerja.
 
2.      Kedua : Rasul pernah ditanya, wahai Rasulullah! Orang yang paling baik itu yang bagaimana? Rasul menjawab :
Yang artinya : "Sebaik-baiknya diantara kamu ialah orang yang umurnya panjang dan banyak amal kebajikannya".
Sudah barang tentu orang yang semacamn ini sangat bermanfaat bagi masyarakat. Sebaliknya kalau ada orang yang amalnya baik tapi umurnya pendek masyarakat akan merasa kehilangan. Rasulullah juga mengatakan,"Seburuk-buruknya manusia yaitu mereka yang panjang umurnya tapi jelek perbuatannya".
Jadi sebenarnya kalau ada orang semacam itu mendingan umurnya pendek saja, supaya masyarakat sekitarnya tidak banyak menderita dan agar ia tidak terlalu berat tanggung jawabnya di hadapan Allah. Orang yang umurnya panjang dan banyak amal kebajikannya itulah orang yang baik.
Permasalahannya sekarang bagaimana agar kita mendapat umur yang panjang. Sementara orang ragu, bukankah Allah telah menentukan umur seseorang sebelum lahir? Pernyataan ini memang benar, tapi jangan lupa Allah adalah Maha Kuasa menentukan umur yang dikehendaki-Nya.
Adapun resep agar umur panjang sebagaimana resep Rasulullah :
Secara lahiriyah, kita semua sependapat untuk hidup sehat, harus hidup teratur, makan yang bergizi serta menjaga kondisi dengan berolahraga yang teratur.
Secara spiritual orang yang ini panjang umur ada dua resepnya:
1. Pertama : Suka bersedekah yakni melepaskan sebahagian hartanya di jalan Allah untuk kepentingan masyarakat, anak yatim, fakir miskin maupun untuk kepentingan agama. Dengan kata lain orang yang kikir atau bakhil sangat mungkin umurnya pendek.
2. Kedua    : Suka silahturahmi, Silah berarti hubungan dan rahmi berati kasih sayang, jadi suka mengakrabkan hubungan kasih sayang dengan sesama, saling kunjung atau dengan saling kirim salam.
Sementara para ahli tafsir menyatakan sekalipun bukan umur itu yang bertambah misalnya 60 tahun, karena sering silahturahmi meningkat menjadi 62 tahun, banyak sedekahnya menjadi 65 tahun. Kalau bukan umurnya yang bertambah, setidak-tidaknya berkah umur itu yang bertambah. Umurnya tetap tapi kualitas dari umur itu yang bertambah.

3.      Ketiga : Rasul pernah ditanya, orang yang paling beruntung itu yang bagaimana? Rasul Menjawab :
Yang artinya : "Barang siapa yang keadaannya hari ini kualitas hidupnya lebih baik dari hari kemarin maka dia adalah orang beruntung".
Kalau kita bandingkan dengan tahun kemarin, ilmu dan ibadahnya, dedikasinya, etos kerja, disiplin kerja meningkat, dan akhlaknya semakin baik, orang tersebut adalah orang yang beruntung. Dengan kata lain filsafat hidup Rasulullah yang ketiga adalah "Tiada hari tanpa peningkatan kualitas hidup".
Pernyataan Rasul yang kedua :
Yang artinya: "Barangsiapa keadaan hidupnya pada hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia termasuk orang yang rugi".
Jika amalnya, akhlaknya, ibadahnya, kedisplinannya dan dedikasinya tidak naik dan juga tidak turun maka orang tersebut termasuk orang yang merugi.
Sementara orang bertanya: Kenapa dikatakan rugi padahal segala-galanya tidak merosot? Bagaimana dikatakan tidak rugi, mata sudah bertambah kabur, uban sudah bertabu, giginya sudah pada gugur dan sudah lebih dekat dengan kubur, amalnya tidak juga bertambah, kualitas hidup tidak bertambah maka ia adalah rugi. Dan Rasul mengatakan selanjutnya :
Yang artinya : "Barangsiapa keadaan hidupnya pada hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka orang semacam itu dilaknat oleh Allah".
Oleh karena itu pilihan kita tidak ada lain kecuali yang pertama, yakni tidak ada hari tanpa peningkatan kualitas hidup. Sebagai umat Islam, kedispilinan, dedikasi, kepandaian, kecerdasan, keterampilan harus kita tingkatkan, agar kita termasuk orang yang beruntung.

4.      Keempat : Rasul pernah ditanya : "Wahai Rasulullah! Suami dan isteri yang paling baik itu bagaimana? Rasul menjawab : "Suami yang paling baik adalah suami yang sikap dan ucapannya selalu lembut terhadap isterinya, tidak pernah bicara kasar, tidak pernah bersikap kasar, tidak pernah menyakiti perasaan isterinya, tetap menghormati dan menghargai isterinya.
Sebab ada sikap seorang suami yang suka mengungkit-ungkit segala kekurangan isterinya, sehingga dapat menyinggung perasaannya, yang demikian termasuk suami yang tidak baik biarpun keren dan uangnya banyak. Hakekatnya suami yang tidak baik yaitu suami yang kasar terhadap isterinya. Dan seorang laki-laki yang mulia ialah yang bisa memuliakan kaum wanita, tidak suka menyepelekan. Sampai-sampai Rasul masih membela kepada kaum wanita beberapa saat sebelum Beliau wafat. Beliau sempat berpesan: "Aku titipkan nasib kaum wanita kepadamu". Diulangnya tiga kali. Karena kaum wanita kedudukannya serba lemah. Jadi kalau seoarang suami memiliki akhlak yang tidak baik maka penderitaan sang isteri luar biasa. Hal ini perlu kita ingat karena segala sukses yang dicapai oleh sang suami pada hakekatnya adalah karena andil sang isteri. Demikian juga andil isteri yang membantu mencarikan nafkah.

5.      Kelima : Rasul pernah ditanya, "Wahai Rasulullah! Orang yang benar itu yang bagaimana? Rasul menjawab,"Apabila dia berbuat salah segera bertaubat, kembali kepada jalan yang benar. Oleh karena itu para filosof mengatakan, "Orang yang benar adalah bukan orang yang tak pernah melakukan kesalahan, tapi orang yang benar adalah mereka yang sanggup mengendalikan diri dari perbuatan yang terlarang dan bila terlanjur melakukannya, ia memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatan yang salah itu. Ibarat anak sekolah mengerjakan soal, kalau salah tidak jadi masalah, asal setelah dikoreksi tidak mengulangi kesalahannya. Sampai-sampai ada ungkapan yang tidak enak didengar tapi benar menurut tuntunan Islam, yaitu: Bekas maling itu lebih baik  dari pada bekas santri. Kita tahu bahwa santri adalah orang yang taat beragama, sedangkan maling penjahat, pemerkosa, dan sebagainya tapi setelah bertaubat menjadi orang yang baik, kembali ke jalan yang benar. Orang yang demikian matinya menjadi khusnul khotimah. Memang yang ideal, orang yang baik itu dari muda sampai tua baik terus, tapi hal itu jarang.
Kesalahan yang sudah terlanjur, selama masih mau bertaubat tidak jadi masalah. Oleh karena itu, segala hukuman, seperti hukuman administrasi dalam kepegawaian, selalu didasarkan atas beberapa pertimbangan. Apakah kesalahannya tidak bisa ditolerir, apakah orang tersebut perlu diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya atau tidak. Apakah kesalahannya terpaksa atau karena kebodohannya? Maka berbagai pertimbangan perlu dilakukan sehingga ada kesempatan bagi orang tersebut untuk memperbaiki kesalahannya, agar dia bisa kembali menjadi orang yang baik. Nabi Muhammad SAW bersabda :
Yang artinya: "Walaupun engkau pernah melakukan kesalahan sehingga langit ini penuh dengan dosamu, asal saja kamu bertaubat, pasti akan terima oleh Allah".

6.      Keenam : Suka memberi. Sabda Nabi :
Yang artinya : "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah".
Orang yang suka memberi, martabatnya lebih terhormat daripada orang yang suka menerima. Allah berfirman :
Yang artinya : "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir, seratus biji. Allah melipat-gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.(QS. Al-Baqarah : 261)
Tidak ada orang yang suka sedekah, kemudian jatuh miskin. Umumnya yang jatuh miskin karena suka judi, togel, dan minuman keras. Dan resep kaya menurut Islam adalah kerja keras, hidup hemat, dan suka sedekah.

7.      Ketujuh : Rasul pernah ditanya oleh para sahabat : "Wahai Rasul! Si pulan itu orang yang luar biasa hebatnya. Dia selalu berada dalam masjid, siang malam melakukan shalat, puasa, I'tikaf, berdo'a. Kemudian Rasul bertanya kepada para sahabat, "Apakah orang itu punya keluarga?" Sahabat menjawab, "Punya Ya Rasul". Kata Rasul : "Orang tersebut adalah orang yang tidak baik!. Saya ini suka ibadah tapi disamping itu sebagai seorang suami, berusaha mencari nafkah. Sampai Rasul menyatakan : " Tergolong tidak baik orang yang hanya mementingkan urusan ukhrawi tetapi melalaikan urusan dunia".
Juga tidak benar orang yang hanya mementingkan urusan duniawi tapi melalaikan urusan ukhrawi. Yang paling baik adalah seimbang antara kepentingan duniawi dengan kepentingan ukhrowi dan tidak berat sebelah.